Ada Kenikmatan di Daerah "Anti Wisata Halal"
Merujuk data PHRI Toraja Utara, menyebutkan 73 persen wisatawan yang datang ke Toraja adalah wisatawan domestik, 75 persen diantaranya adalah muslim. Hanya 27 saja wisatawan mancanegara, kopi toraja, Gunung Vagina,
"Wisata halal" sebetulnya tengah menjadi tren dunia dewasa ini. Negara-negara minoritas muslim seperti Jepang dan Korea Selatan bahkan terus mengkampanyekan wisata halalnya untuk menggenjot wisatawan muslim. Tapi, di sini malah anti. Kenapa ya?
|
SATU hal yang ada di benak saya saat itu: Ingin mencicipi kopi terenak langsung dari tempat asalnya. Yakni Toraja.
Adalah 7 Eleven, salah satu convinience store di Jakarta yang mengenalkan nikmatnya kopi itu di lidah saya. Mereka lah yang paling bertanggung jawab atas candu saya terhadap kopi itu.
Sehingga, setiap ke mini market asal negeri Paman Sam itu, pasti saya pencet tombol di mesin kopi yang bertuliskan Kopi Toraja. Dulu harganya: Rp15 ribu secangkir. Ukuran small.
Kadang saya tak membubuhkan gula sama sekali untuk merasakan nikmat rasa pahit aslinya.
Sambil menunggu dingin, saya kerap menghirup aroma asli kopi yang terbawa di antara kepulan asap-asapnya. Lalu menyesap ke saraf otak hingga memenuhi rongga-ronga dada. Anteng. Semua carut-marut beban pikiran terurai.
Kini 7 Eleven tinggal kenangan. Satu persatu gerainya tutup ketika hendak cuti pulang kampung. Setelah cuti habis, dan kembali ke Jakarta, tempat tongkrongan favorit saya itu resmi ditutup semua pada 30 Juni 2017 lalu. Tak ada yang tersisa.
Sejak itulah, saya tak lagi dapat menyeruput nikmatnya kopi Toraja. Yang ada hanya ada rasa kangen akan rasa dan aromanya itu.
|
Ketika mendapat kesempatan berkunjung ke tanah asal kopi itu, saya senang bukan main. Meskipun harus menempuh hampir 10 jam perjalanan darat dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Sebelum sampai Toraja, di sepanjang jalan aroma kopi itu sebetulnya mulai menusuk-nusuk hidung saya setiap melintasi warkop-warkop yang berjejeran di pinggir jalan. Tak sabar rasanya jika harus menunggu sampai Toraja.
Setengah perjalanan, supir memilih sebuah warung kopi di Enrekang untuk beristirahat. Posisinya di pinggir tebing. Belakang warung tersebut terpampang pemandangan gunung-gunung dan aliran sungai yang indah di bawahnya. Satu gunung yang paling mencolok diberi nama Gunung Vagina. (Jika ada kesempatan nanti kita ulas kenapa gunung itu diberi nama alat kelamin perempuan).
|
Kalau nama sopannya sih disebut Gunung Nona. Kami di sana, dari petang hingga tenggelam matahari menyeruput kopi Toraja yang ternyata juga tersedia di warkop tersebut.
Puas ngopi, plus indomie campur telur ceplok kami melanjutkan perjalanan. Tiga jam lagi. Sepanjang perjalanan saya tertidur tak sadarkan diri. Hingga tiba kami pada sebuah resort sekira pukul 10 malam.
Di sana perut mulai keroncongan. Supir mengingatkan, di resort tidak ada penanda antara makanan halal dan tidak. Dari sinilah rasa galau dimulai. Namun supir menenangkan bahwa sekitar 200 meter dari hotel ada beberapa warung makan muslim.
Kami langsung memilih jalan kaki sambil membaui kota Toraja. Sayang, hotel yang direkomendasikan sang supir sudah tutup.
Yang terbuka warung di depannya. Namun yang terpampang adalah spanduk warung bakso babi. Aroma kuah bakso dari warung tersebut menyeruak keluar. Menggoyang iman kami bertiga, termasuk pak supir malam itu.
Oh tidak! Batin kami menolak. Dilema.
Karena jam segitu, beberapa rumah makan muslim memang sudah tutup. Sehingga pilihannya hanya dua, melanjutkan pencarian rumah makan muslim yang masih buka atau meneruskan malam dalam keadaan lapar.
Beruntung, sebelum iman kami nyaris ambruk karena lapar, ada warung muslim lain yang masih buka. Sudah setengah tutup. Pelayannya mulai beres-beres. Kami langsung menerobos masuk. Meskipun beberapa pesanan di menu kata pelayan sudah habis. Yang ada hanya ikan goreng dan kuah sop.
Okelah. Kami langsung menyantapnya. Orang lapar dapat makanan dan minuman nyaris tak terkontrol. Semua rasanya ingin dilahap.
Beruntung alam bawah sadar saya mengingatkan untuk menyisakan ikan dan sambalnya di bawa pulang, untuk stok makan pagi. Kalau-kalau benar apa yang dikatakan supir tadi. Pelayan lalu membungkus ikan, sambal dan tambahan nasi.
|
Benar saja, keesokan paginya teman saya yang kembali dari restoran resort tak makan apa-apa. Kecuali hanya makan buah saja. Tak ada penanda makanan halal di sana. Padahal pemandangan di restoran resort ini terbilang asik. Menghadap kolam renang yang dibelakangnya mengalir sungai besar dan deras. Adem.
Arah Kiblat
Saya sebetulnya sempat salut pada resort di daerah anti wisata ini, karena membubuhkan tanda arah kiblat di langit-langit kamar. Meskipun sajadah dan Al-Quran tidak ada.
Yang ada kitab agama lain.
Namun yang membuat saya heran kenapa arah kiblat hotel berbeda dengan yang ada di aplikasi saya. Saya sempat menduga aplikasi saya error.
Bahkan saya mendownload tambahan aplikasi lain, yakni kompas. Untuk mengukur derajat arah kiblat yang tepat dari Toraja. Hasilnya juga sama dengan aplikasi sebelumnya. Bimbang lagi.
Yang mengejutkan, ketika tiba di Makassar, arab kiblat yang ditunjukkan dua aplikasi sama dengam arah kiblat yang ditempelkan pihak hotel. Nah.
Kopi di Resort Enak
Terlepas dari segala kendala Moeslem Unfriendly itu, satu yang paling asik di resort ini adalah kopinya.
Mereka memberikan bubuk kopi asli toraja dalam toples kecil. Bukan kopi sachet. Saya jadi bebas menyeduhnya berkali-kali. He-he-he. Bahagia.
Berburu Kopi
Jelang bertolak pulang dari Toraja, sorenya kami menesilik pasar Rantepao yang menjual bubuk kopi. Suara mesin giling kopi menderu di sepanjang jejeran toko.
|
Harganya Rp200.000 perkilo untuk kopi Arabika grade A. Harga ini sama jika kita cek dari ujung ke ujung pasar. Yang membedakan harga hanya jenis dan grade kopi. Pilihan kami akhirnya jatuh pada kopi merek Sangulele.
Selain kopi, saya juga tertarik pada bubuk kedelai. Murah, cuma Rp13.000 perbungkus.
Dapat kopi, cukup sudah bagi saya. Karena cuma itu target utamanya. Selebihnya cuma selingan saja. He-he-he.
Hanya yang mengherankan, di beberapa sudut kota terpajang spandung-spanduk seruan anti wisata halal.
|
Padahal, jika merujuk data PHRI Toraja Utara, menyebutkan 73 persen wisatawan yang datang ke Toraja adalah wisatawan domestik, 75 persen diantaranya adalah muslim. Hanya 27 saja wisatawan mancanegara.
Wisata halal sebetulnya tengah menjadi tren dunia. Negara-negara minoritas muslim seperti Jepang dan Korea Selatan bahkan jor-joran mengkampanyekan wisata halalnya untuk menggenjot wisatawan muslim.
Tamat.
****
Sekitar dua hari usai pulang dari Toraja, mulai dari Bupati, anggota DPRD, mahasiswa dan masyarakat dikabarkan melangsungkan demo besar-besaran dua hari berturut-turut tolak wisata halal.