Benarkah Isi Gugatan Paslon 02 ke MK Salah Alamat? Begini Penjelasannya...
Gugatan Paslon 02 ke Mahkamah Konstitusi Salah Alamat?
Dari tujuh tuntutan yang diajukan Paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa diantaranya dinilai janggal dan lucu. Kuasa hukum pihak terkait Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra malah meresponnya dengan ketawa.
Salah satu tuntutan yang diketawai Yusril adalah poin kelima. Dalam tuntutan tersebut, paslon 02 meminta MK menetapkan Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
"Ha-ha-ha-ha... Ya saya kira dibaca saja kewenangan MK," respon Yusril ketika dicegat wartawan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, (26/5).
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari, tuntutan tersebut salah alamat. Sebab, jika merujuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, kewenangan menetapkan siapa Presiden dan Wakil Presiden terpilih masih dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan MK.
"Di pasal 475 itu dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menjatuhkan putusan terjadi perubahan hasil. Dan keputusan itu masih nanti dijalankan oleh KPU. Artinya KPU yang berhak menetapkan siapa Presiden yang terpilih atau tidak. Bukan Mahkamah Konstitusi," jelasnya ketika dihubungi (26/5).
Meskipun dinilai janggal, Yusril menyerahkan semuanya kepada MK. Menurutnya butir permohonan demikian sah-sah saja dalam kapasitas pemohon.
Selain itu, dalam UU Pemilu juga ditegaskan bahwa keberatan yang diajukan pasangan calon harusnya terkait hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon.
"Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden," bunyi pasal 475 UU Pemilu ayat 2.
Namun dalam berkas petitum yang diperoleh, Tim Prabowo-Sandiaga tidak menyebutkan tentang perselisihan hasil penghitungan suara.
Memuat permintaan membatalkan penetapan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh termohon juga diatur dalam Pasal 8 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018.
"Petitum, memuat permintaan untuk membatalkan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh Termohon, dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut Pemohon," bunyi pasal tersebut.
Feri memaklumi tidak disebutkannya berapa banyak suara yang seharusnya diperoleh paslon 02 dalam berkas petitum yang diajukan ke MK. Menurutnya ada dua pola yang biasanya dipakai untuk membuktikan bahwa proses penghitungan suara dimenangkan oleh pihak-pihak yang mengajukan permohonan ke MK.
"Pertama dia mencoba mengalihkan suara kemenangan yang diduga awalnya milik Jokowi yang kemudian dialihkan menjadi milik Prabowo," urai Feri.
"Basis kalau yang beginian haruslah dengan form C1, yang menjadi dasar rekapitulasi suara di TPS. Kebutuhan C1 itu cukup besar antara 100 ribu hingga 200 ribu TPS. Itu tentu berat untuk dipenuhi oleh BPN 02 ya. Jangankah 100 ribu, 100 saja tidak muncul kan begitu," sebutnya.
Sementara cara yang kedua, lanjut Feri, pemohon biasanya menggunakan dalil telah terjadi kecurangan secara terstruktur, melibatkan aparat, baik penyelenggara atau tidak yang kemudian mengubah hasil pemilu.
"Lalu angka kecurangan berlangsung masif. Kalau pakai tata cara Bawaslu itu kan harus lebih dari 50 persen daerah yang kemudian dilakukan kecurangan seluruh Indonesia. Nah, ini juga harus dijelaskan dengan sangat baik ya apakah betul-betul ada keterlibatam aparat, direncanakan dari awal, dalam jumlah yang masif," terangnya.
Lebih lanjut, Feri juga mengaku heran kenapa Tim Hukum Paslon 02 yang digawangi Bambang Widjojanto turut memasukan tuntutan untuk mendiskualifikasi pasangan calon presiden dan wakil nomor urut 01, Joko Widodo dan KH Mar'uf Amin sebagai Peserta Pilpres 2019, seperti yang tercantum di poin keempat tuntutan.
"Kok sekarang dibatalkan, sementara seluruh proses sudah terpenuhi. Harusnya sebelum pungut hitung, sudah ditentukan oleh KPU dan Bawaslu. Kalau tidak ada berarti dianggap sah dan memenuhi syarat," sambungnya.
Harusnya, sebut Feri, kewenangan itu bisa dilakukan melalui proses administrasi di Bawaslu atau melalui peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Bukan di MK.
Namun Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Andre Rosiade yakin bahwa tuntutan yang diajukan tim hukumnya sudah tepat dan sudah melalui pertimbangan yang matang.
"Kan nggak ada masalah. Dulu Kotawaringin dibatalkan, didiskualifikasi, pernah terjadi dulu. PSU juga pernah terjadi 2008 di Jawa Timur, 2010 di Kota Waringin juga dibatalkan pencalonannya, didiskualifikasi. Saya rasa nggak ada yang nggak mungkin ya. Karena MK kan adalah begawan-begawan hukum, nggak ada yang nggak mungkin," sebut Andre.
Ia juga memastikan tidak akan ada perbaikan dari tujuh butir tuntutan yang diajukan ke MK itu. "Nggak ada. Yang ada kita akan melengkapi bukti-bukti, itu yang ada," kata Andre.
"Tunggu tanggal mainnya," pungkas dia●
1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
2. Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden, Anggota DPRD, DPD tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Nasional di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019.
3. Menyatakan Capres Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif.
4. Membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan calon presiden dan wakil nomor urut 01, Presiden H Joko Widodo dan KH Mar'uf Amin sebagai Peserta Pilpres 2019.
5. Menetapkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor urut 2 H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
6. Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk seketika untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
atau:
7. Memerintahkan Termohon (KPU-red) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22e ayat 1 UUD 1945.
|
Salah satu tuntutan yang diketawai Yusril adalah poin kelima. Dalam tuntutan tersebut, paslon 02 meminta MK menetapkan Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
"Ha-ha-ha-ha... Ya saya kira dibaca saja kewenangan MK," respon Yusril ketika dicegat wartawan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, (26/5).
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari, tuntutan tersebut salah alamat. Sebab, jika merujuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, kewenangan menetapkan siapa Presiden dan Wakil Presiden terpilih masih dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan MK.
"Di pasal 475 itu dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menjatuhkan putusan terjadi perubahan hasil. Dan keputusan itu masih nanti dijalankan oleh KPU. Artinya KPU yang berhak menetapkan siapa Presiden yang terpilih atau tidak. Bukan Mahkamah Konstitusi," jelasnya ketika dihubungi (26/5).
Meskipun dinilai janggal, Yusril menyerahkan semuanya kepada MK. Menurutnya butir permohonan demikian sah-sah saja dalam kapasitas pemohon.
"MK hanya memutuskan sengketa akhir pemilu. Nanti tindak lanjutnya oleh KPU. Jadi kalau dimohon kepada MK, namanya sebagai memohon, ya boleh saja. Apakah akan dikabulkan atau tidak kita serahkan sepenuhnya kepada hakim MK"
■ Yusril Ihza Mahendra
Kuasa hukum pihak terkait Joko Widodo-Ma'ruf Amin
Selain itu, dalam UU Pemilu juga ditegaskan bahwa keberatan yang diajukan pasangan calon harusnya terkait hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon.
"Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden," bunyi pasal 475 UU Pemilu ayat 2.
Namun dalam berkas petitum yang diperoleh, Tim Prabowo-Sandiaga tidak menyebutkan tentang perselisihan hasil penghitungan suara.
Memuat permintaan membatalkan penetapan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh termohon juga diatur dalam Pasal 8 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018.
"Petitum, memuat permintaan untuk membatalkan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh Termohon, dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut Pemohon," bunyi pasal tersebut.
Feri memaklumi tidak disebutkannya berapa banyak suara yang seharusnya diperoleh paslon 02 dalam berkas petitum yang diajukan ke MK. Menurutnya ada dua pola yang biasanya dipakai untuk membuktikan bahwa proses penghitungan suara dimenangkan oleh pihak-pihak yang mengajukan permohonan ke MK.
"Pertama dia mencoba mengalihkan suara kemenangan yang diduga awalnya milik Jokowi yang kemudian dialihkan menjadi milik Prabowo," urai Feri.
"Basis kalau yang beginian haruslah dengan form C1, yang menjadi dasar rekapitulasi suara di TPS. Kebutuhan C1 itu cukup besar antara 100 ribu hingga 200 ribu TPS. Itu tentu berat untuk dipenuhi oleh BPN 02 ya. Jangankah 100 ribu, 100 saja tidak muncul kan begitu," sebutnya.
Sementara cara yang kedua, lanjut Feri, pemohon biasanya menggunakan dalil telah terjadi kecurangan secara terstruktur, melibatkan aparat, baik penyelenggara atau tidak yang kemudian mengubah hasil pemilu.
"Lalu angka kecurangan berlangsung masif. Kalau pakai tata cara Bawaslu itu kan harus lebih dari 50 persen daerah yang kemudian dilakukan kecurangan seluruh Indonesia. Nah, ini juga harus dijelaskan dengan sangat baik ya apakah betul-betul ada keterlibatam aparat, direncanakan dari awal, dalam jumlah yang masif," terangnya.
Lebih lanjut, Feri juga mengaku heran kenapa Tim Hukum Paslon 02 yang digawangi Bambang Widjojanto turut memasukan tuntutan untuk mendiskualifikasi pasangan calon presiden dan wakil nomor urut 01, Joko Widodo dan KH Mar'uf Amin sebagai Peserta Pilpres 2019, seperti yang tercantum di poin keempat tuntutan.
"Karena soal diskualifikasi calon juga bukan kewenangan MK. Itu kewenangan KPU dan Bawaslu di dalam proses penentuan pencalonan"
■ Feri Amsari
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat
"Kok sekarang dibatalkan, sementara seluruh proses sudah terpenuhi. Harusnya sebelum pungut hitung, sudah ditentukan oleh KPU dan Bawaslu. Kalau tidak ada berarti dianggap sah dan memenuhi syarat," sambungnya.
Harusnya, sebut Feri, kewenangan itu bisa dilakukan melalui proses administrasi di Bawaslu atau melalui peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Bukan di MK.
Namun Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Andre Rosiade yakin bahwa tuntutan yang diajukan tim hukumnya sudah tepat dan sudah melalui pertimbangan yang matang.
"Namanya juga orang yang menuntut, tentu menuntutnya harus yang paling tinggi donk. Dan kami akan buktikan gugatan di persidangan"
■ Andre Rosiade
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN)
"Kan nggak ada masalah. Dulu Kotawaringin dibatalkan, didiskualifikasi, pernah terjadi dulu. PSU juga pernah terjadi 2008 di Jawa Timur, 2010 di Kota Waringin juga dibatalkan pencalonannya, didiskualifikasi. Saya rasa nggak ada yang nggak mungkin ya. Karena MK kan adalah begawan-begawan hukum, nggak ada yang nggak mungkin," sebut Andre.
Ia juga memastikan tidak akan ada perbaikan dari tujuh butir tuntutan yang diajukan ke MK itu. "Nggak ada. Yang ada kita akan melengkapi bukti-bukti, itu yang ada," kata Andre.
"Tunggu tanggal mainnya," pungkas dia●
Tujuh Poin Tuntutan Prabowo - Sandi ke Hakim Mahkamah Konstitusi:
1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
2. Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden, Anggota DPRD, DPD tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Nasional di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019.
3. Menyatakan Capres Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif.
4. Membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan calon presiden dan wakil nomor urut 01, Presiden H Joko Widodo dan KH Mar'uf Amin sebagai Peserta Pilpres 2019.
5. Menetapkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor urut 2 H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
6. Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk seketika untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
atau:
7. Memerintahkan Termohon (KPU-red) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22e ayat 1 UUD 1945.