Cacat Bawaan Demokrasi Tanpa Oposisi
Pangi Syarwi Chaniago, Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
Kelompok oposisi dalam sistem demokrasi memegang peranan yang sangat penting untuk mewujudkan mekanisme ‘checks and balances’. Mekanisme ini dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola dan penyelenggaraan pemerintahan yang terkontrol sehingga pemerintahan yang sedang berkuasa tidak keluar "jalur" dan bertindak sewenang-wenang.
Oleh karena itu, kelompok oposisi juga harus diperkuat untuk memaksimalkan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan. Mekanisme “checks and balances” harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri.
Berkuasa atau berada dalam barisan oposisi adalah satu paket, tujuannya tetap sama yakni memastikan negara berjalan sesuai konstitusi dan meminimalisir terjadinya penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan.
Tidak boleh ada pandangan sinis terhadap oposisi sebagai kelompok "penggangu" harus diluruskan, karena pemahaman yang sangat keliru dan fatal dalam berfikir. Memandang sinis terhadap oposisi dan upaya mengkebiri kelompok ini sebagai "penggangu" stabilitas negara akan mendorong negara kejurang tirani mayoritas dan otoritarianisme.
Oleh karena itu, adanya upaya ‘rekomposisi’ koalisi pasca pilpres adalah bentuk ketidak-percayaan diri koalisi pemenang pilpres terhadap kekuatan politiknya sendiri. Di sisi lain juga sebagai upaya membungkam kelompok oposi untuk melumpuhkan daya kritisnya terhadap kekuasaan sebagaimana yang telah dilakukan pada periode sebelumnya. Apakah belum cukup dukungan partai di parlemen sekarang terhadap pemerintahan Jokowi? Kalau kita perhatikan kekuatan politik dan dukungan partai di parlemen terhadap pemerintahan Jokowi, sudah lebih dari cukup yakni 60 persen.
Intrik politik semacam ini semestinya bisa dihindari dengan upaya membentuk koalisi permanen yang tidak mudah goyah hanya karena godaan pembagian “kue kekuasaan” semata, meski terkadang kue yang dibagi-bagi itu sisa kekuasaan yang sudah basi. Koalisi permanen akan mendorong kelompok oposisi punya proposal tandingan sebagai “second opinion” sehingga nantinya kebijakan pemerintah bukan hanya dikritik tanpa dasar namun juga punya alternatif berfikir konstruktif dengan harapan bisa menjadi jalan pikiran yang lebih baik untuk perbaikan bangsa ke depannya.
Soal tawaran agar Gerindra masuk ke koalisi pemerintah Jokowi bagaimana? Menurut pendapat saya, sebaiknya jangan, sebab kenapa? Pertama, tentu saja tidak sehat bagi sistem politik Indonesia ke depannya, kedua bisa menurunkan kualitas demokrasi kita. Salah satu kelemahan sistem presidential setengah hati adalah karena dipadukan dengan multipartai, ini yang sering kita sebut cacat bawaan sistem presidential multi-partai, tidak berlebihan saya sebut sistem presidential banci.
Sementara sistem presidential murni itu bagaimana? Partai pengusung utama calon presiden yang menang langsung jadi partai berkuasa “the rulling party” sementara yang kalah langsung otomaticly memposisikan diri menjadi “partai oposisi”.
Bagaimana etika partai pengusung capres tersebut usai kontestasi? Contoh seperti di Amerika Serikat, partai punya “fatsun politik”, tidak ada cerita setelah presiden terpilih, yang tadinya berseberangan, lalu di tengah jalan bergabung ke koalisi presiden terpilih, apakah partai tersebut “berkeringat” memenangkan presiden terpilih? Apakah “berdarah-darah” memenangkan calon presidennya? Kita ini ya lucu, karena alasan “mengamankan” kepentingan di parlemen, supaya tidak diganggu dan mendapat dukungan penuh di DPR, dengan harapan semua program dan kebijakan pemerintah dapat berjalan mulus di parlemen kemudian menjadi alasan merangkul partai oposisi dalam pilpres.
Memang harus kita akui, dengan sistem multipartai sekarang, tidak ada kursi partai yang dominan di atas 20 persen kursi parlemen dan 25 persen suara nasional, ini barangkali yang membuat presiden terpilih di tengah jalan harus melakukan kompromi politik dengan merangkul, mengakomodir tambahan kekuatan partai koalisi di parlemen. Sebuah konsekuensi dari sistem presidential bercita rasa “multipartai”, presiden terpilih harus ‘berkompromi’ dengan partai yang pernah menjadi lawan tandingnya dalam pilpres.
Masukan kita, apakah Gerindra bakal menerima tawaran bergabung ke koalisi pemerintah dengan “deal politik” kue kekuasaan? Sebaiknya “jangan”. Lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya untuk partai Gerindra dan demokrasi Indonesia ke depannya.
Alasan pertama, Gerindra punya kans bisa memenangkan pemilu legislatif 2024, kalau citra pemerintah Jokowi tidak memuaskan nantinya, tidak mampu memenuhi target janji politiknya, sebab Jokowi punya asosiatif langsung terhadap PDIP, kalau Jokowi baik, PDIP juga mendapatkan dampak elektoral, namun kalau kinerja Jokowi periode kedua tidak baik, maka berpotensi mengerus/tsunami elektabilitas PDIP.
Apalagi tabiat yang ganjil dalam sejarah sistem kepartaian kita apakah ada partai berkuasa selama 3 kali berturut turut bisa memenangkan pemilu legislatif? Kedua, tentu saja Gerindra salah satu partai yang mampu mengimbangi, mengkoreksi jalannya pemerintahan, partai papan atas yang punya roh “bergaining posisition” memainkan peran oposisi.
Ketiga, saya mahfum partai pengusung utama Jokowi sedikit “keberatan” dengan bergabungnya partai PAN, partai Demokrat dan Gerindra maupun PKS, karena bisa menganggu jatah kursi menteri dan jabatan strategis lainnya, secara sederhana memantik kecemburuan dan secara etika politik pun nampak “tidak elok”. Lebih baik Gerindra puasa 5 tahun lagi, kita hakul yakin Gerindra punya momentum emas, punya kans memenangkan pemilu 2024.
Penulis: Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
|
Oleh karena itu, kelompok oposisi juga harus diperkuat untuk memaksimalkan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan. Mekanisme “checks and balances” harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri.
Berkuasa atau berada dalam barisan oposisi adalah satu paket, tujuannya tetap sama yakni memastikan negara berjalan sesuai konstitusi dan meminimalisir terjadinya penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan.
Tidak boleh ada pandangan sinis terhadap oposisi sebagai kelompok "penggangu" harus diluruskan, karena pemahaman yang sangat keliru dan fatal dalam berfikir. Memandang sinis terhadap oposisi dan upaya mengkebiri kelompok ini sebagai "penggangu" stabilitas negara akan mendorong negara kejurang tirani mayoritas dan otoritarianisme.
Oleh karena itu, adanya upaya ‘rekomposisi’ koalisi pasca pilpres adalah bentuk ketidak-percayaan diri koalisi pemenang pilpres terhadap kekuatan politiknya sendiri. Di sisi lain juga sebagai upaya membungkam kelompok oposi untuk melumpuhkan daya kritisnya terhadap kekuasaan sebagaimana yang telah dilakukan pada periode sebelumnya. Apakah belum cukup dukungan partai di parlemen sekarang terhadap pemerintahan Jokowi? Kalau kita perhatikan kekuatan politik dan dukungan partai di parlemen terhadap pemerintahan Jokowi, sudah lebih dari cukup yakni 60 persen.
Intrik politik semacam ini semestinya bisa dihindari dengan upaya membentuk koalisi permanen yang tidak mudah goyah hanya karena godaan pembagian “kue kekuasaan” semata, meski terkadang kue yang dibagi-bagi itu sisa kekuasaan yang sudah basi. Koalisi permanen akan mendorong kelompok oposisi punya proposal tandingan sebagai “second opinion” sehingga nantinya kebijakan pemerintah bukan hanya dikritik tanpa dasar namun juga punya alternatif berfikir konstruktif dengan harapan bisa menjadi jalan pikiran yang lebih baik untuk perbaikan bangsa ke depannya.
Soal tawaran agar Gerindra masuk ke koalisi pemerintah Jokowi bagaimana? Menurut pendapat saya, sebaiknya jangan, sebab kenapa? Pertama, tentu saja tidak sehat bagi sistem politik Indonesia ke depannya, kedua bisa menurunkan kualitas demokrasi kita. Salah satu kelemahan sistem presidential setengah hati adalah karena dipadukan dengan multipartai, ini yang sering kita sebut cacat bawaan sistem presidential multi-partai, tidak berlebihan saya sebut sistem presidential banci.
Sementara sistem presidential murni itu bagaimana? Partai pengusung utama calon presiden yang menang langsung jadi partai berkuasa “the rulling party” sementara yang kalah langsung otomaticly memposisikan diri menjadi “partai oposisi”.
Bagaimana etika partai pengusung capres tersebut usai kontestasi? Contoh seperti di Amerika Serikat, partai punya “fatsun politik”, tidak ada cerita setelah presiden terpilih, yang tadinya berseberangan, lalu di tengah jalan bergabung ke koalisi presiden terpilih, apakah partai tersebut “berkeringat” memenangkan presiden terpilih? Apakah “berdarah-darah” memenangkan calon presidennya? Kita ini ya lucu, karena alasan “mengamankan” kepentingan di parlemen, supaya tidak diganggu dan mendapat dukungan penuh di DPR, dengan harapan semua program dan kebijakan pemerintah dapat berjalan mulus di parlemen kemudian menjadi alasan merangkul partai oposisi dalam pilpres.
Memang harus kita akui, dengan sistem multipartai sekarang, tidak ada kursi partai yang dominan di atas 20 persen kursi parlemen dan 25 persen suara nasional, ini barangkali yang membuat presiden terpilih di tengah jalan harus melakukan kompromi politik dengan merangkul, mengakomodir tambahan kekuatan partai koalisi di parlemen. Sebuah konsekuensi dari sistem presidential bercita rasa “multipartai”, presiden terpilih harus ‘berkompromi’ dengan partai yang pernah menjadi lawan tandingnya dalam pilpres.
Masukan kita, apakah Gerindra bakal menerima tawaran bergabung ke koalisi pemerintah dengan “deal politik” kue kekuasaan? Sebaiknya “jangan”. Lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya untuk partai Gerindra dan demokrasi Indonesia ke depannya.
Alasan pertama, Gerindra punya kans bisa memenangkan pemilu legislatif 2024, kalau citra pemerintah Jokowi tidak memuaskan nantinya, tidak mampu memenuhi target janji politiknya, sebab Jokowi punya asosiatif langsung terhadap PDIP, kalau Jokowi baik, PDIP juga mendapatkan dampak elektoral, namun kalau kinerja Jokowi periode kedua tidak baik, maka berpotensi mengerus/tsunami elektabilitas PDIP.
Apalagi tabiat yang ganjil dalam sejarah sistem kepartaian kita apakah ada partai berkuasa selama 3 kali berturut turut bisa memenangkan pemilu legislatif? Kedua, tentu saja Gerindra salah satu partai yang mampu mengimbangi, mengkoreksi jalannya pemerintahan, partai papan atas yang punya roh “bergaining posisition” memainkan peran oposisi.
Ketiga, saya mahfum partai pengusung utama Jokowi sedikit “keberatan” dengan bergabungnya partai PAN, partai Demokrat dan Gerindra maupun PKS, karena bisa menganggu jatah kursi menteri dan jabatan strategis lainnya, secara sederhana memantik kecemburuan dan secara etika politik pun nampak “tidak elok”. Lebih baik Gerindra puasa 5 tahun lagi, kita hakul yakin Gerindra punya momentum emas, punya kans memenangkan pemilu 2024.
Penulis: Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting