Impor Rektor Dinilai Terlalu Dini, Ini 3 Solusi Dongkrak Ranking PT

Rektor Universitas Islam Neger Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Prof Masdar Hilmy tidak sependapat dengan wacana rektor impor yang digulirkan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir untuk diterapkan tahun depan. Menurutnya masih terlalu dini.

  •  Foto udara Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. (Dok: uinsby.ac.id)



"Itu kan liberalisasi rektor. Terlalu dini menurut saya," kata Masdar saat dihubungi tadi malam.

Menanggapi alasan Menteri Nasir dibalik impor rektor itu, yakni agar perguruan tinggi Indonesia masuk ke dalam jejeran ranking 100 besar dunia, Prof Masdar menyarankan perlu adanya kajian yang lebih komprehensif. Tidak bisa langsung ujug-ujug dibandingkan dengan perguruan tinggi luar negeri seperti Singapura.

"Karakteristiknya berbeda antara perguruan tinggi di Indonesia dengan di luar negeri," jelasnya.

Jebolan Universitas McGill, Montreal, Kanada itu kemudian mencontohkan China. Salah satu negara yang berhasil menempatkan 10 perguruan tinggi di 100 besar perguruan tinggi dunia.

Prestasi itu kata Masdar tidak dicapai dengan cara instan, seperti dengan mengimpor rektor. Melainkan setelah melakukan kajian sejak tahun 80-an.

"Bagaimana peta jalan menuju perguruan tinggi kelas dunia. Sejak tahun itu sudah dirancang. Lah kita baru ribut sejak 10-20 tahun terakhir."

Salah satu hasil dari kajian China waktu itu, jelas Masdar adalah membuat semacam pemusatan universitas di beberapa kota. Kemudian perguruan tinggi dibangun sejak awal persis seperti di negara-negara barat.

"Nah itu baru bisa. Lah kita... Ndak bisa mas. Sampeyan mau copy-paste di Indonesia itu nggak iso sampeyan. Bisa-bisa rektor impor itu sama nasibnya seperti rektor yang lain," tandasnya.

Apalagi tenaga pengajar di perguruan tinggi masih mengadopsi mekanisme rekruetmen pegawai negeri sipil (PNS). "Kalau mekanisme PNS, sekali menjadi dosen di perguruan tinggi, maka sampai pensiun itu akan begitu terus. Nah kalau di barat, pakai sistem kontrak," kata Masdar.

Sebab, dengan sistem kontrak, performa dosen bisa di-review. Yang tidak perform secara akademik bisa dievaluasi bahkan diganti. Sementara saat ini, Indonesia masih mengukur kinerja dosen dengan menggunakan Undang-undang PNS.

"Itu salah besar. Karena PNS itu ukuran kinerjanya didasarkan pada kehadiran, kepada hal-hal yang sifatnya administratif. Sama persis seperti pegawai pemda dan pemprov. Gitu ya salah... ha-ha-ha," nilainya.

Dari pada langsung mendatangkan rektor dari luar, profesor yang meraig gelar PhD di Asia Institute, University of Melbourne, Australia itu cenderung menyarankan agar Indonesia mengkaji terlebih dahulu langkah yang pernah dilakukan China terlebih dahulu.

"Jangan, belum apa-apa UI dipanggil rektor dari luar negeri. Oalah hancur itu. Kalang kabut," tandas Masdar.

Bahkan, lanjutnya sekelas Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN BH) seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Intitut Teknologi Bandung dan lainnya yang telah diberikan keleluasan mengatur keuangan dan mengangkat maupun memberhentikan dosen sendiri belum menerapkan standar seperti yang dilakukan China atau kampus di negara-negara maju.

"Tidak persis seperti apa yang terjadi di negara maju. Masih sama seperti mekanisme PNS juga. Kalau tidak publikasi ilmiah nanti diancam lagi. Wah pokoknya banyak lah," sebutnya.

Lebih lanjut, Tridarma perguruan tinggi luar berbeda dengan yang dianut di dalam negeri. "Learning, pembelajaran dengan riset. Nah kemudian industri. Itu tiga itu. Kalau di kita ini kan tidak; masyarakat, pengabdian masyarakat, kemudian penelitian dan pembelajaran," urai Masdar.

Ia juga menyinggung soal dana riset. Menurutnya alokasi dana itu harusnya tidak boleh dipolitisasi. "Padahal sudah ada amanat undang-undang lho," katanya.

Dalam amanat Undang-undang, jelas Masdar Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) 30 persen peruntukannya untuk pengembangan riset di perguruan tinggi. Namun pada kenyataannya, perguruan tinggi tidak pernah diaudit terkait alokasi itu.

"Karena begitu negara membutuhkan uang, misalnya untuk pembangunan infrastruktur, untuk hajatan 5 tahunan pemilu, untuk ini untuk itu, kita ini akhirnya ngalah," kata Masdar.

Yang terjadi saat ini atsmosfer politik mengkooptasi akademik. Harusnya, menurut Masdar, akademik didahulukan, baru setelah itu politik. "Politik harus manut pada akademik. Hasil penelitian perguruan tinggi itu menjadi rujukan bagi pengembangan kehidupan berbangsa-bernegara. Termasuk berpolitik," katanya.

Untuk jangka pendek, impor rektor itu menurut Masdar belum bisa jadi solusi. Solusinya, pertama adalah meningkatkan profuktifitas akademik kampus. Tetapi melalui diskresi ketentuan dan keundang-an.

Dosen, katanya jangan melulu dilihat sebagai insan PNS. Harus mengikuti aturan-aturan sebagaimana PNS yang lain. Tetapi ukurannya adalah produktifitas akademik.

"Digenjotlah publikasi internasionalnya, dengan semacam insentif. Jangan lagi harus fokus ini, harus fokus itu. Ndak mau ini, ndak mau itu."

Kedua, merestrukturisasi mekanisme rekruetmen tenaga pendidik/dosen. "Diperbanyaklah yang pakai kontrak-kontrak itu," usul Masdar.

Dengan ketentuan, lanjutnya performa akademik yang menjadi ukuran apakah seorang dosen itu layak dipertahankan di perguruan tinggi tertentu atau tidak.

"Semakin tinggi reputasi akademik seorang dosen, maka dia akan berharga mahal. Seperti klub sepak bola, kira-kira begitulah. Produktifitas gol itu menjadi ukuran."

Selama ini, rekruetmen dilakukan masih menggunakan test. "TPA, ini itu... Ah nggak ada pengaruhnya juga bagi produktifitas," terangnya.

Terakhir, yang ketiga menurut Masdar adalah mengubah pola tri dharma perguruan tinggi. Dia kemudian mencontohkan seorang dosen yang excelent di bidang pembelajaran.

"Ya mengajar saja, asalkan dia mampu menarik mahasiswa asing, misalnya, karena kehebatannya menyelenggaran perkuliahan."

Ada juga yang penelitian dan publikasi. "Digenjot di situ, nggak persoalan."

Selama ini, kata dia, kampus terbelenggu oleh ketentuan tri dharma perguruan tinggi. Tri dharma yang selama ini dlakukan hanya sekedar untuk pemenuhan angka kredit yang telah ditetapkan.

Tri dharma, menurutnya tidak bisa diberlakukan sama untuk semua dosen. Dimana selama ini dosen yang mengajar, juga harus meneliti dan pengabdian masyarakat sekaligus.

"Jangan dikunci begitu. Bahwa mungkin tetap tridarma, tapi jangan dikunci begitu," harapnya.

Misalnya kata dia, ada dosen yang memang hebat di penelitian. "Sudah, suruh penelitian aja itu. Kasih dia porsi (penelitian) lebih besar. Ujung-ujungnya juga publikasi. Nah, di Indonesia kan tidak ada kewajiban publikasi bagi penelitian," pungkasnya.

Sebetulnya, wacana mendatangkan rektor asing sudah bergulir lama. Tepatnya sejak tahun 2016. Namun masih urung terealisasi karena derasnya penolakan pada saat itu.

Belakangan, wacana impor rektor itu sudah mendapatkan "lampu hijau" dari Presiden Jokowi. Tinggal persiapan saja, kata Menteri Nasir.

Persiapan yang dimaksud meliputi perbaikan tata kelola, revisi peraturan pemerintah, peraturan menteri dan pemetaan kampus mana yang akan menerapkannya. Target Nasir, rektor bisa diimpor tahun depan, 2020.

"Kalau persiapan tidak bagus ya mungkin kita pending atau bagaimana," tutur dia.

Rencananya, untuk tahap awal tidak semua kampus akan diisi oleh rektor impor. Ia akan memilih beberapa universitas percontohan sepanjang 2020-2024.

"Kita petakan perguruan tinggi mana yang layak, kita punya 4.700 perguruan tinggi, ambil contoh 2 atau 5 selama 2020-2024, tidak semua rektor," jelas Nasir.

Kritik pedas datang dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah terkait wacana rektor impor ini. Ia khawatir, jika keran impor tersebut dibuka, akan banyak posisi-posisi strategis lain yang akan diisi pihak asing.

"Kalau begitu caranya nanti naikin aja ke atas, jangan-jangan kita nggak sanggup jadi presiden juga, nyari orang asing jadi presiden. Nanti kepala desa, nyari orang asing. Nanti wali kota, nyari orang asing,” kritik Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/7) lalu.

Harusnya, kata Fahri, untuk membangun kampus kelas dunia Menteri Nasir punya konsep, tanpa harus menyingkirkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri. Ia meminta Kemenristekdikti tidak mencontoh BUMN yang menyerahkan jabatan strategis kepada pihak asing.

"Gagal membuat kampus menjadi kelas dunia, cari rektor asing. Lah sampeyan jadi menteri apa kerjaannya? Kan kita nanyanya ke dia, bukan kita, lagi-lagi nyerah, tunjuk orang asing,” sentilnya.

Di lini massa, wacana rektor impor ini mendapat cibiran. Apalagi ide tersebut muncul dari Menteri Nasir, yang diketahui merupakan mantan rektor Universitas Diponegoro Semarang.

"Ada ada aja Menteri satu ini. Bapak dulu bukannya mantan Rektor Undip ya? Gagal juga dong berarti anda?," sindir Politisi Demokrat Jansen Sitindaon di akun twitternya @jansen_jsp.

"Buat apa gembar-gembor teriak dan pasang spanduk: "SAYA INDONESIA. SAYA PANCASILA" tapi rektor-rektor impor," protes @nizaminz.

Akun @Johnyarema2 malah khawatir, jika rektor impor ternyata berafiliasi dengan organisasi radikal. "Kok impor. Biji mana kalo rektornya anggota isis," tanya dia.

"Nanti semua jenis pekerjaan akan diisi asing... Dan rakyat yang pengangguran akan digaji pemerintah... Sabar aja...wkwkw," kelakar @Z1D4NH3RM4W4N.

Sementara akun @MediaPenggila setuju. Menurutnya kampus memang tidak boleh ada proteksi layaknya ekspor impor. "Kampus harus bebas tidak bisa menganut proteksi layaknya ekspor dan impor barang dan jasa. tentunya bertujuan peningkatan pengetahuan agar ada dialektika didalamnya," dukung dia.

Sedangkan akun @MUHAIMINEMTE yang juga setuju, tapi dia membuat pengecualian. "Rektor asing janganlah pak. Expert pada prodi mungkin diperlukan," usulnya.