Solusi Jangka Pendek Atasi Tunggakan BPJS Kesehatan
Jika berbagai kebijakan jangka pendek, dan menengah tersebut dapat dilakukan, sehingga keluhan RS, dan keluhan peserta JKN terkait sub standarnya pelayanan JKN di RS, maka kebijakan tersebut, kemungkinan dapat mengurangi _tension_ masyarakat yang tidak menerima kenaikan iuran sampai 100% kelas 1, dan 2, bagi mandiri, dan 64% untuk kelas 3 mandiri (baca PBPU dan BP).
Viral di media sosial, tiga orang anggota DPR Komisi IX dari fraksi berbeda yaitu PKB, PKS, dan PDIP meradang dalam Raker dengan Menkes, Direksi BPJS Kesehatan, DJSN, dan mitra kerja lainnya, terkait dengan kenaikan iuran sampai 100% PBPU dan BP kelas 1, dan 2, serta hampir 65% PBPU dan BP kelas 3.
Mereka marah, karena pada raker gabungan Komisi IX, dan XI 2 September 2019 yang lalu, disepakati untuk tidak menaikkan iuran bagi PBPU dan BP kelas 3, sampai dengan dilakukannya _cleansing_ data PBI, dengan data PBPU dan BP kelas 3.
Kita mengikuti di media, bahwa dalam rapat 2 September 2019, usulan kenaikan PBPU dan BP kelas 1, dan 2 sampai 100 %, serta PBPU dan BP kelas 3 64% meluncur dari mulut Sri Mulyani Menkeu dan dikutip luas oleh media.
Para menteri yang mendampingi Mensos, dan Menkes, Dirut BPJS Kesehatan, dan Ketua DJSN, tidak bersuara. Tentu tidak boleh donk beda pendapat di forum raker, walaupun kenaikan fantastis tersebut belum tentu sesuai dengan isi hati mereka.
Pihak DJSN yang ikut rapat waktu itu, juga terpaksa berdiam diri walaupun usulan DJSN tidak sebesar yang disampaikan Menkeu. Kita sudah maklum, karena posisi DJSN yang dilematis.
Tetapi rupanya Pemerintah sudah berketetapan hati untuk menaikkan iuran sesuai dengan Kepres 75/2019, tertanggal 24 Oktober 2019. Akibatnya sampai hari ini, heboh dan kegaduhan atas kenaikan luar biasa itu tidak henti-hentinya, dan menyita energi berbagai pihak Kemenkes, BPJS Kesehatan, DJSN. Sampai kapan reda, kita lihat pada awal Januari 2020, saat kenaikan iuran mandiri berlaku.
Kemarahan anggota DPR Komisi IX, dengan aktornya para anggota lama, pada rapat kerja minggu lalu itu, memang cukup beralasan. Karena pemerintah menurut legislatif mengabaikan rekomendasi Raker sebelumnya. Tentu Pemerintah juga punya alasan kenapa segera menerbitkan Perpres tersebut secepatnya, karena sudah semakin parah defisit DJS JKN.
Rumah sakit sudah menjerit, tunggakan ada yang sudah sampai 4 – 6 bulan, bahkan RS di lingkungan Muhammadiyah, akumulasi tunggakan mencapai Rp. 300 miliar. Jangan heran anggota DPR Komisi IX Saleh Daulay dari PAN dan kader Muhammadiyah , dalam forum raker tersebut meminta sangat agar BPJS Kesehatan membayarkan tunggakan tersebut.
Tetapi kita harus jujur juga memberikan pandangan, bahwa dalam memutuskan kenaikan iuran bagi peserta mandiri, Menkeu Sri Mulyani terkesan gegabah, kurang memperhatikan masukan DJSN terkait hitungan kenaikan iuran tersebut. Padahal di DJSN berkumpul semua ahli jaminan sosial, pejabat pemerintah terkait, perwakilan unsur pekerja, pemberi kerja, dan ahli aktuaria.
Demikian juga Ibu Menkes waktu itu, tidak banyak mmeberikan masukan, pemikiran, dan solusi lainnya terkait besaran kenaikan iuran, dan dampaknya terhadap kondisi penyelenggaraan JKN kedepan. Kalau BPJS Kesehatan, sudah dalam kondisi pasrah apa kebijakan pemerintah. Persoalan mendasarnya sudah diketahui, BPKP sudah memeriksa komprehensif, hasilnya sudah ada bauran kebijakan yang dibuat.
Sebab sesuai dengan amanat UU BPJS, jika terjadi defisit bukan karena adanya penyimpangan, maka menjadi kewajiban pemerintah menyelesaikannya. Pemerintah dapat melakukan kenaikan iuran atau mengurangi manfaat jika secara ekonomi pemerintah sudah tidak mampu. Tetapi mengurangi manfaat itu adalah pilihan terakhir.
Kembali soal anggota DPR Komisi IX yang meradang tersebut, apakah benar karena tidak melaksanakan rekomendasi Raker gabungan 2 September 2019 yang lalu?. Tidak sepenuhnya benar. Misalnya soal _cleansing_ data, pihak BPJS Kesehatan menjelaskan sudah melakukan virifikasi dan validasi dengan Kemensos yang menetapkan siapa saja yang berhak menerima PBI.
Tetapi apakah juga sudah –clean_ irisannya dengan PBPU dan BP kelas 3 yang terindikasi ada yang masuk ketagori tidak mampu, tetapi membayar kelas 3, karena tidak dapat masuk PBI?.
Secara detail data mereka yang beririsan tersebut, apalagi dkaitkan dengan mampu dan tidak mampu, bukan perkara mudah, karena ada _Grey Area_ yang tidak teridentifikasi dengan akurat. Ketidak akurat ini menyebabkan berbagai protes dan keluhan mereka yang terpukul berat dengan kenaikan iuran.
Meradangnya anggota DPR, disikapi dengan arif oleh Menkes dr.Terawan.. Berupaya untuk memberikan solusi, Menkes mengusulkan untuk memberikan subsidi bagi peserta mandiri (PBPU dan BP) kelas 3, sebesar Rp.16.500/POPB, totalnya adalah Rp. 9,7 triliun. Apakah usulan ini disetujui Presiden kita belum dapat kepastian beritanya. Yang sudah beredar adalah Menko PMK, dan Menkeu menolak. Mereka tetap berpegang pada Kepres 75/2019.
Kita perlu sampaikan, bahwa istilah subsidi dalam UU SJSN dan UU BPJS tidak di kenal. Sumber penerimaan BPJS itu yang konkrit adalah dari iuran pesrta. Jika fakir miskin dan tidak mampu iurannya dibayarkan oleh Pemerintah. Jika pekerja formal, pembayaran iuran _sharing_ antara pekerja dan pemberi kerja, sejumlah persentase tertentu dari gapok dan tunjangan tetap lainhnya.
Untuk peserta mandiri (perorangan) iuran dibayar yang bersangkutan dengan angka nominal. Jelas tidak ada pos subsidi yang dapat dikeluarkan Pemerintah dari APBN. Pilihannya hanya dua jenis iuran yaitu dibayar oleh peserta yang mampu, disebut non PBI, dan dibayarkan oleh Pemerintah 100% bagi PBI.
Dalam situasi sekarang ini, kita dapat membedah persoalan JKN dari sisi penyelesaian jangka pendek dan jangka menengah.
Untuk jangka pendek yang sangat mendesak saat ini, antara lain:
1. Sesuai dengan Perpres 75/2019, Kemenkeu harus segera mencairkan uang selisih kenaikan iuran PBI untuk 5 bulan mulai Agustus sampai dengan Desember 2019, sebesar Rp. 12,6 triliun untuk 133 juta PBI APBN dan APBD.
2. Dana sebesar Rp. 12,6 triliun tersebut, oleh pihak BPJS Kesehatan segera di distribusikan kepada RS-RS sesuai dengan besaran klaim yang telah di verifikasi (_clean and clear_) secara proporsional dan sesuai urutan pengajuan klaim.
3. Kemenkes memastikan, semua RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, melaksanakan pelayanan kesehatan pada pasien JKN, tanpa melakukan _OOP (Out Of Pocket)_ atau _Sharing Cost_, pada pasien JKN dengan alasan apapun.
4. Managemen BPJS Kesehatan, membuat kebijakan yang menarik kepada peserta JKN yang menunggak. Misalnya mendapatkan potongan pembayaran (discount) sejumlah tertentu, jika membayarkan tunggakannya lunas paling lambat akhir Desember 2019.
Untuk setahun kedepan, Kemenkes, DJSN, dan BPJS Kesehatan, merumuskan bersama beberapa langkah kebijakan :
1. Membuat rumusan kriteria kelas standar untuk pelayanan RS rawat inap, dan menetapkan kelas standar dalam perubahan Perpres JKN berikutnya, yang berlaku bagi semua peserta JKN, baik yang PBI dan non PBI.
2. Tetap ada selisih besaran iuran bagi PBI dan non PBI (PBPU dan BP), tetapi tidak terlalu ekstrim, selisihnya proporsional, dan sesuai dengan kebutuhan manfaat pelayanan.
3. Bagi PBI karena iurannya dibayarkan oleh Pemerintah, dan memang untuk mereka yang miskin dan tidak mampu, tidak dibolehkan naik kelas dari kelas standar ke kelas Premium / VIP.
4. Bagi peserta PPU, PBPU, dan BP, dibolehkan untuk pindah/naik kelas dari kelas standar ke kelas Premium/VIP, dengan ketentuan selisih biaya pelayanan ditanggung peserta JKN secara mandiri.
5. Berapa besaran iuran peserta PBPU dan BP untuk kelas standar, dapat dihitung secara aktuaria sehingga cukup untuk membiayai manfaat pelayanan JKN. Tetapi bukan menutup defisit tahun-tahun yang lalu. Harus ada cut off. Kewajiban pemerintah menutup defisit dengan menggunakan sumber dana lain dari APBN (misalnya cukai rokok).
6. Kemenkes menghitung lagi dengan cermat, satuan biaya tarif Ina CBGs, dengan memperhatikan inflasi, dan faktor kemahalan daerah dengan menggunakan indeksi tertentu untuk setiap propinsi. Sudah tidak tepat untuk relaksasi tarif Ina CBGs menggunakan zona yang dibagi dalam 6 zona wilayah. Disparitasnya masih terlalu tinggi, sehingga RS sulit untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan JKN.
7. Menkes harus mengontrol kerja Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, atas penyusunan Fornas sebagai acuan penggunaan obat JKN, untuk jangan sering hilang – timbul jenis obat yang masuk Fornas. Lebih banyak jenis item obat yang masuk dalam daftar Fornas, lebih baik, sehingga Drug of Choice dapat dilakukan, dan obatnya tersedia di Fornas.
Jika berbagai kebijakan jangka pendek, dan menengah tersebut dapat dilakukan, sehingga keluhan RS, dan keluhan peserta JKN terkait sub standarnya pelayanan JKN di RS, maka kebijakan tersebut, kemungkinan dapat mengurangi tension masyarakat yang tidak menerima kenaikan iuran sampai 100% kelas 1, dan 2, bagi mandiri, dan 64% untuk kelas 3 mandiri (baca PBPU dan BP).
Bagaimana dengan meradangnya anggota DPR Komisi IX dalam Raker 7 November 2019 yang lalu, dan diakhiri dengan kesimpulan yang juga jika dicermati ada beberapa poin merupakan jebakan batman, potensial untuk tidak dapat dilaksanakan. Apakah akan meradang kembali dalam Raker dan RDP berikutnya, atau sudah adem ayem. Kita lihat saja.
Terkait hasil kesimpulan Raker dan RDP Komisi IX DPR 7 November 2019 dengan mitranya, akan kita bahas pada artikel berikutnya.
Foto: BPJS Kesehatan |
Mereka marah, karena pada raker gabungan Komisi IX, dan XI 2 September 2019 yang lalu, disepakati untuk tidak menaikkan iuran bagi PBPU dan BP kelas 3, sampai dengan dilakukannya _cleansing_ data PBI, dengan data PBPU dan BP kelas 3.
Kita mengikuti di media, bahwa dalam rapat 2 September 2019, usulan kenaikan PBPU dan BP kelas 1, dan 2 sampai 100 %, serta PBPU dan BP kelas 3 64% meluncur dari mulut Sri Mulyani Menkeu dan dikutip luas oleh media.
Para menteri yang mendampingi Mensos, dan Menkes, Dirut BPJS Kesehatan, dan Ketua DJSN, tidak bersuara. Tentu tidak boleh donk beda pendapat di forum raker, walaupun kenaikan fantastis tersebut belum tentu sesuai dengan isi hati mereka.
Pihak DJSN yang ikut rapat waktu itu, juga terpaksa berdiam diri walaupun usulan DJSN tidak sebesar yang disampaikan Menkeu. Kita sudah maklum, karena posisi DJSN yang dilematis.
Tetapi rupanya Pemerintah sudah berketetapan hati untuk menaikkan iuran sesuai dengan Kepres 75/2019, tertanggal 24 Oktober 2019. Akibatnya sampai hari ini, heboh dan kegaduhan atas kenaikan luar biasa itu tidak henti-hentinya, dan menyita energi berbagai pihak Kemenkes, BPJS Kesehatan, DJSN. Sampai kapan reda, kita lihat pada awal Januari 2020, saat kenaikan iuran mandiri berlaku.
Kemarahan anggota DPR Komisi IX, dengan aktornya para anggota lama, pada rapat kerja minggu lalu itu, memang cukup beralasan. Karena pemerintah menurut legislatif mengabaikan rekomendasi Raker sebelumnya. Tentu Pemerintah juga punya alasan kenapa segera menerbitkan Perpres tersebut secepatnya, karena sudah semakin parah defisit DJS JKN.
Rumah sakit sudah menjerit, tunggakan ada yang sudah sampai 4 – 6 bulan, bahkan RS di lingkungan Muhammadiyah, akumulasi tunggakan mencapai Rp. 300 miliar. Jangan heran anggota DPR Komisi IX Saleh Daulay dari PAN dan kader Muhammadiyah , dalam forum raker tersebut meminta sangat agar BPJS Kesehatan membayarkan tunggakan tersebut.
Tetapi kita harus jujur juga memberikan pandangan, bahwa dalam memutuskan kenaikan iuran bagi peserta mandiri, Menkeu Sri Mulyani terkesan gegabah, kurang memperhatikan masukan DJSN terkait hitungan kenaikan iuran tersebut. Padahal di DJSN berkumpul semua ahli jaminan sosial, pejabat pemerintah terkait, perwakilan unsur pekerja, pemberi kerja, dan ahli aktuaria.
Demikian juga Ibu Menkes waktu itu, tidak banyak mmeberikan masukan, pemikiran, dan solusi lainnya terkait besaran kenaikan iuran, dan dampaknya terhadap kondisi penyelenggaraan JKN kedepan. Kalau BPJS Kesehatan, sudah dalam kondisi pasrah apa kebijakan pemerintah. Persoalan mendasarnya sudah diketahui, BPKP sudah memeriksa komprehensif, hasilnya sudah ada bauran kebijakan yang dibuat.
Sebab sesuai dengan amanat UU BPJS, jika terjadi defisit bukan karena adanya penyimpangan, maka menjadi kewajiban pemerintah menyelesaikannya. Pemerintah dapat melakukan kenaikan iuran atau mengurangi manfaat jika secara ekonomi pemerintah sudah tidak mampu. Tetapi mengurangi manfaat itu adalah pilihan terakhir.
Kembali soal anggota DPR Komisi IX yang meradang tersebut, apakah benar karena tidak melaksanakan rekomendasi Raker gabungan 2 September 2019 yang lalu?. Tidak sepenuhnya benar. Misalnya soal _cleansing_ data, pihak BPJS Kesehatan menjelaskan sudah melakukan virifikasi dan validasi dengan Kemensos yang menetapkan siapa saja yang berhak menerima PBI.
Tetapi apakah juga sudah –clean_ irisannya dengan PBPU dan BP kelas 3 yang terindikasi ada yang masuk ketagori tidak mampu, tetapi membayar kelas 3, karena tidak dapat masuk PBI?.
Secara detail data mereka yang beririsan tersebut, apalagi dkaitkan dengan mampu dan tidak mampu, bukan perkara mudah, karena ada _Grey Area_ yang tidak teridentifikasi dengan akurat. Ketidak akurat ini menyebabkan berbagai protes dan keluhan mereka yang terpukul berat dengan kenaikan iuran.
Meradangnya anggota DPR, disikapi dengan arif oleh Menkes dr.Terawan.. Berupaya untuk memberikan solusi, Menkes mengusulkan untuk memberikan subsidi bagi peserta mandiri (PBPU dan BP) kelas 3, sebesar Rp.16.500/POPB, totalnya adalah Rp. 9,7 triliun. Apakah usulan ini disetujui Presiden kita belum dapat kepastian beritanya. Yang sudah beredar adalah Menko PMK, dan Menkeu menolak. Mereka tetap berpegang pada Kepres 75/2019.
Kita perlu sampaikan, bahwa istilah subsidi dalam UU SJSN dan UU BPJS tidak di kenal. Sumber penerimaan BPJS itu yang konkrit adalah dari iuran pesrta. Jika fakir miskin dan tidak mampu iurannya dibayarkan oleh Pemerintah. Jika pekerja formal, pembayaran iuran _sharing_ antara pekerja dan pemberi kerja, sejumlah persentase tertentu dari gapok dan tunjangan tetap lainhnya.
Untuk peserta mandiri (perorangan) iuran dibayar yang bersangkutan dengan angka nominal. Jelas tidak ada pos subsidi yang dapat dikeluarkan Pemerintah dari APBN. Pilihannya hanya dua jenis iuran yaitu dibayar oleh peserta yang mampu, disebut non PBI, dan dibayarkan oleh Pemerintah 100% bagi PBI.
Dalam situasi sekarang ini, kita dapat membedah persoalan JKN dari sisi penyelesaian jangka pendek dan jangka menengah.
Untuk jangka pendek yang sangat mendesak saat ini, antara lain:
1. Sesuai dengan Perpres 75/2019, Kemenkeu harus segera mencairkan uang selisih kenaikan iuran PBI untuk 5 bulan mulai Agustus sampai dengan Desember 2019, sebesar Rp. 12,6 triliun untuk 133 juta PBI APBN dan APBD.
2. Dana sebesar Rp. 12,6 triliun tersebut, oleh pihak BPJS Kesehatan segera di distribusikan kepada RS-RS sesuai dengan besaran klaim yang telah di verifikasi (_clean and clear_) secara proporsional dan sesuai urutan pengajuan klaim.
3. Kemenkes memastikan, semua RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, melaksanakan pelayanan kesehatan pada pasien JKN, tanpa melakukan _OOP (Out Of Pocket)_ atau _Sharing Cost_, pada pasien JKN dengan alasan apapun.
4. Managemen BPJS Kesehatan, membuat kebijakan yang menarik kepada peserta JKN yang menunggak. Misalnya mendapatkan potongan pembayaran (discount) sejumlah tertentu, jika membayarkan tunggakannya lunas paling lambat akhir Desember 2019.
Untuk setahun kedepan, Kemenkes, DJSN, dan BPJS Kesehatan, merumuskan bersama beberapa langkah kebijakan :
1. Membuat rumusan kriteria kelas standar untuk pelayanan RS rawat inap, dan menetapkan kelas standar dalam perubahan Perpres JKN berikutnya, yang berlaku bagi semua peserta JKN, baik yang PBI dan non PBI.
2. Tetap ada selisih besaran iuran bagi PBI dan non PBI (PBPU dan BP), tetapi tidak terlalu ekstrim, selisihnya proporsional, dan sesuai dengan kebutuhan manfaat pelayanan.
3. Bagi PBI karena iurannya dibayarkan oleh Pemerintah, dan memang untuk mereka yang miskin dan tidak mampu, tidak dibolehkan naik kelas dari kelas standar ke kelas Premium / VIP.
4. Bagi peserta PPU, PBPU, dan BP, dibolehkan untuk pindah/naik kelas dari kelas standar ke kelas Premium/VIP, dengan ketentuan selisih biaya pelayanan ditanggung peserta JKN secara mandiri.
5. Berapa besaran iuran peserta PBPU dan BP untuk kelas standar, dapat dihitung secara aktuaria sehingga cukup untuk membiayai manfaat pelayanan JKN. Tetapi bukan menutup defisit tahun-tahun yang lalu. Harus ada cut off. Kewajiban pemerintah menutup defisit dengan menggunakan sumber dana lain dari APBN (misalnya cukai rokok).
6. Kemenkes menghitung lagi dengan cermat, satuan biaya tarif Ina CBGs, dengan memperhatikan inflasi, dan faktor kemahalan daerah dengan menggunakan indeksi tertentu untuk setiap propinsi. Sudah tidak tepat untuk relaksasi tarif Ina CBGs menggunakan zona yang dibagi dalam 6 zona wilayah. Disparitasnya masih terlalu tinggi, sehingga RS sulit untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan JKN.
7. Menkes harus mengontrol kerja Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, atas penyusunan Fornas sebagai acuan penggunaan obat JKN, untuk jangan sering hilang – timbul jenis obat yang masuk Fornas. Lebih banyak jenis item obat yang masuk dalam daftar Fornas, lebih baik, sehingga Drug of Choice dapat dilakukan, dan obatnya tersedia di Fornas.
Jika berbagai kebijakan jangka pendek, dan menengah tersebut dapat dilakukan, sehingga keluhan RS, dan keluhan peserta JKN terkait sub standarnya pelayanan JKN di RS, maka kebijakan tersebut, kemungkinan dapat mengurangi tension masyarakat yang tidak menerima kenaikan iuran sampai 100% kelas 1, dan 2, bagi mandiri, dan 64% untuk kelas 3 mandiri (baca PBPU dan BP).
Bagaimana dengan meradangnya anggota DPR Komisi IX dalam Raker 7 November 2019 yang lalu, dan diakhiri dengan kesimpulan yang juga jika dicermati ada beberapa poin merupakan jebakan batman, potensial untuk tidak dapat dilaksanakan. Apakah akan meradang kembali dalam Raker dan RDP berikutnya, atau sudah adem ayem. Kita lihat saja.
Terkait hasil kesimpulan Raker dan RDP Komisi IX DPR 7 November 2019 dengan mitranya, akan kita bahas pada artikel berikutnya.