Tujuan Digantinya Radikalisme Jadi Manipulator Agama Dari Segi Komunikasi Politik
Usul Presiden Joko Widodo untuk mengganti istilah radikalisme menjadi manipulator agama disikapi beragam. Ada yang setuju, ada juga yang tidak. Lalu apa tujuan digantinya diksi radikalisme itu dari segi bahasa komunikasi politik?
Usul Presiden Joko Widodo untuk mengganti istilah radikalisme menjadi manipulator agama disikapi beragam. Ada yang setuju, ada juga yang tidak. Lalu apa tujuan digantinya diksi radikalisme itu dari segi bahasa komunikasi politik?
JAKARTA - Diksi manipulator agama itu muncul ketika Presiden Jokowi memimpin rapat rerbatas (Ratas) penyampaian program dan kegiatan bidang Polhukam, di Istana Presiden, Kamis (31/10) lalu.
Presiden, dalam rapat tersebut mengatakan bahwa perlu adanya upaya serius untuk mencegah meluasnya paham radikalisme. Namun, dalam pengantarnya itu, Jokowi merasa perlu agar frasa radikalisme diganti dengan diksi yang lain.
Tidak dijelaskan secara rinci, apa sebenarnya yang menjadi alasan Presiden, dibalik permintaannya ini. Perkara radikalisme disampaikan Jokowi di akhir pengantar ratas. Nyaris saja terlewat olehnya.
"Terakhir, saya lupa tadi. Apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan. Misalnya manipulator agama. Saya serahkan kepada Pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini," tuturnya saat hendak mengakhiri pengantar ratas sore itu.
Pakar komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago melihat ada makna di balik permintaan presiden untuk mengganti istilah radikalisme itu. Bisa saja dalam rangka menyikapi konteks kekinian dari frasa tersebut.
"Karena dalam bahasa komunikasi politik itu kan ada yang bicara tentang political message, pesan politik. Political meaning, makna di balik itu. Konteksnya apa," kata Pangi tadi malam.
Pangi merasa Jokowi mulai tidak nyaman dengan istilah radikalisme itu. Karena frasa tersebut selama ini terlalu identik menyerang simbol-simbol Islam. "Mungkin beliau kepingin merubah stempel itu," jelas Pangi.
Sebab, kata Pangi selama ini frasa radikalisme lebih condong dialamatkan ke Islam. Ia meyakini Jokowi mulai tidak nyaman dan tak mau berlama-lama dengan istilah yang membuat Islam menjadi tertuduh seperti itu. "Tidak boleh terlalu lama menyudutkan Islam. Karena itu juga akan jadi bumerangnya," sebutnya.
Beda halnya dengan frasa manipulator. Pelakunya, kata Pangi lebih personal. Tidak mewakili paham-paham tertentu. Sebagaimana radikalisme. "Isme itu kan paham. Radikalisme itu paham garis keras. Simbol-simbolnya selama ini dilekatkan ke Islam."
Pengamat komunikasi politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin juga berpendapat sama. Menurutnya kata radikalisme itu selama ini condong ke Islam. Seolah-olah Islam itu radikal.
"Itu melukai umat Islam. Karena umat Islam itu tidak radikal. Umat Islam itu demokratis dan cinta damai," jelas Ujang tadi malam.
Jika frasa radikalisme itu masih digunakan, ia berkeyakinan bisa memunculkan anggapan bahwa pemerintah memusuhi umat Islam. "Oleh karena itu, diksinya diganti menjadi manipulator agama," imbuhnya.
Menurut Ujang, manipulator agama itu hanya menyasar personal orang atau kelompok tertentu yang dianggap telah memanipulasi agama dan ingin mengganti ideologi Pancasila. "Jadi diksi manipulator agama itu lebih soft dan tidak menuduh seluruh umat Islam radikal," tandasnya.
Usul Jokowi mengganti frasa radikalisme mendapat sambutan antusias warganet. Tadi malam, tagar #ManipulatorAgamaBerbahaya sempat bertengger di deretan trending Twitter Indonesia. Selain itu, tagar #ManipulatorAgama juga ramai.
"Ada yang kejang² dgn tagar #ManipulatorAgamaBerbahaya GAS aja terus," cuit @bangzul_88. "Setuju saya penggantian #radikalisme menjadi #ManipulatorAgama , dari segi bahasa dan makna menjadi jelas. Langkah pertama memang sangat menentukan," dukung @intruder_vise. "Semangat berjuang membasmi #ManipulatorAgama sebab #ManipulatorAgamaBerbahaya," timpal @YuanitaRamadhan dengan memasang 2 tagar sekaligus.
Akun @agungsuryawidya juga merasa demikian. Diksi dari manipulator agama tidak tendensius menyerang agama tertentu. "Lebih general dan tidak tendensius. Leh uga," tulisnya. "((( MANIPULATOR AGAMA ))) oke lah, Not bad," sahut @KangCasing.
Banyak juga tweeps yang gagal paham dengan istilah baru tersebut. Beberapa warganet mencoba menebak-nebak apa makna dari manipulator agama itu. Menurut akun @muit1924, manipulator agama adalah yang mengaku beragama tapi menolak ajarannya. "Memusuhinya. Dan menghalang halanginya," komentarnya. "MANIPULATOR agama itu : pejabat yg disumpah dengan qur'an, tapi ingkari ajaran qur'an, & menolak qur'an kecuali ayat2 yg menguntungkan," jelas @Akub_Zeta. "Manipulator agama itu tak punya kapasitas di bidang agama tapi diserahi mengurusi agama," sentil @SoyaSaya1.
Politisi Demokrat Andi Arief juga angkat bicara soal frasa manipulator agama ini. "Dua tahun terakhir FPI dan kubu Islam disebut Radikalis. Baru saja, NU menyebut FPI selaras soal visi keadilan. Lalu Presiden Jokowi bilang tak ada radikalis, yang ada manipulator agama. Persoalannya apa hubungan klaim Pancasila dan manipulator agama, lalu dimana ahokers?," tanya dia lewat akunnya @AndiArief__.
|
JAKARTA - Diksi manipulator agama itu muncul ketika Presiden Jokowi memimpin rapat rerbatas (Ratas) penyampaian program dan kegiatan bidang Polhukam, di Istana Presiden, Kamis (31/10) lalu.
Presiden, dalam rapat tersebut mengatakan bahwa perlu adanya upaya serius untuk mencegah meluasnya paham radikalisme. Namun, dalam pengantarnya itu, Jokowi merasa perlu agar frasa radikalisme diganti dengan diksi yang lain.
Tidak dijelaskan secara rinci, apa sebenarnya yang menjadi alasan Presiden, dibalik permintaannya ini. Perkara radikalisme disampaikan Jokowi di akhir pengantar ratas. Nyaris saja terlewat olehnya.
"Terakhir, saya lupa tadi. Apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan. Misalnya manipulator agama. Saya serahkan kepada Pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini," tuturnya saat hendak mengakhiri pengantar ratas sore itu.
Pakar komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago melihat ada makna di balik permintaan presiden untuk mengganti istilah radikalisme itu. Bisa saja dalam rangka menyikapi konteks kekinian dari frasa tersebut.
"Karena dalam bahasa komunikasi politik itu kan ada yang bicara tentang political message, pesan politik. Political meaning, makna di balik itu. Konteksnya apa," kata Pangi tadi malam.
Pangi merasa Jokowi mulai tidak nyaman dengan istilah radikalisme itu. Karena frasa tersebut selama ini terlalu identik menyerang simbol-simbol Islam. "Mungkin beliau kepingin merubah stempel itu," jelas Pangi.
Sebab, kata Pangi selama ini frasa radikalisme lebih condong dialamatkan ke Islam. Ia meyakini Jokowi mulai tidak nyaman dan tak mau berlama-lama dengan istilah yang membuat Islam menjadi tertuduh seperti itu. "Tidak boleh terlalu lama menyudutkan Islam. Karena itu juga akan jadi bumerangnya," sebutnya.
Beda halnya dengan frasa manipulator. Pelakunya, kata Pangi lebih personal. Tidak mewakili paham-paham tertentu. Sebagaimana radikalisme. "Isme itu kan paham. Radikalisme itu paham garis keras. Simbol-simbolnya selama ini dilekatkan ke Islam."
Pengamat komunikasi politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin juga berpendapat sama. Menurutnya kata radikalisme itu selama ini condong ke Islam. Seolah-olah Islam itu radikal.
"Itu melukai umat Islam. Karena umat Islam itu tidak radikal. Umat Islam itu demokratis dan cinta damai," jelas Ujang tadi malam.
Jika frasa radikalisme itu masih digunakan, ia berkeyakinan bisa memunculkan anggapan bahwa pemerintah memusuhi umat Islam. "Oleh karena itu, diksinya diganti menjadi manipulator agama," imbuhnya.
Menurut Ujang, manipulator agama itu hanya menyasar personal orang atau kelompok tertentu yang dianggap telah memanipulasi agama dan ingin mengganti ideologi Pancasila. "Jadi diksi manipulator agama itu lebih soft dan tidak menuduh seluruh umat Islam radikal," tandasnya.
Usul Jokowi mengganti frasa radikalisme mendapat sambutan antusias warganet. Tadi malam, tagar #ManipulatorAgamaBerbahaya sempat bertengger di deretan trending Twitter Indonesia. Selain itu, tagar #ManipulatorAgama juga ramai.
"Ada yang kejang² dgn tagar #ManipulatorAgamaBerbahaya GAS aja terus," cuit @bangzul_88. "Setuju saya penggantian #radikalisme menjadi #ManipulatorAgama , dari segi bahasa dan makna menjadi jelas. Langkah pertama memang sangat menentukan," dukung @intruder_vise. "Semangat berjuang membasmi #ManipulatorAgama sebab #ManipulatorAgamaBerbahaya," timpal @YuanitaRamadhan dengan memasang 2 tagar sekaligus.
Akun @agungsuryawidya juga merasa demikian. Diksi dari manipulator agama tidak tendensius menyerang agama tertentu. "Lebih general dan tidak tendensius. Leh uga," tulisnya. "((( MANIPULATOR AGAMA ))) oke lah, Not bad," sahut @KangCasing.
Banyak juga tweeps yang gagal paham dengan istilah baru tersebut. Beberapa warganet mencoba menebak-nebak apa makna dari manipulator agama itu. Menurut akun @muit1924, manipulator agama adalah yang mengaku beragama tapi menolak ajarannya. "Memusuhinya. Dan menghalang halanginya," komentarnya. "MANIPULATOR agama itu : pejabat yg disumpah dengan qur'an, tapi ingkari ajaran qur'an, & menolak qur'an kecuali ayat2 yg menguntungkan," jelas @Akub_Zeta. "Manipulator agama itu tak punya kapasitas di bidang agama tapi diserahi mengurusi agama," sentil @SoyaSaya1.
Politisi Demokrat Andi Arief juga angkat bicara soal frasa manipulator agama ini. "Dua tahun terakhir FPI dan kubu Islam disebut Radikalis. Baru saja, NU menyebut FPI selaras soal visi keadilan. Lalu Presiden Jokowi bilang tak ada radikalis, yang ada manipulator agama. Persoalannya apa hubungan klaim Pancasila dan manipulator agama, lalu dimana ahokers?," tanya dia lewat akunnya @AndiArief__.