Bagaimana Nasib Trump, Setelah Dimakzulkan Oleh DPR?

Pemakzulan Presiden bukan yang pertama kali dilakukan oleh DPR Amerika Serikat. Dalam sejarahnya, Donald Trump adalah yang keempat. Tapi nasibnya, diperkirakan akan mirip seperti Bill Clinton.

  • Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto: Twitter

WASHINGTON, Bagus - Presiden AS yang pertama kali dimakzulkan adalah Andrew Johnson. Politisi Demokrat yang menjabat Presiden, menggantikan Abraham Lincoln karena meninggal dunia ini, digugat DPR AS dengan 11 pasal pemakzulan pada tahun 1868.

Sebagian besar terkait dengan pelanggaran Tenure of Office Act. Undang-undang yang mengekang kemampuan Johnson memecat pejabat Kabinet yang ditunjuk oleh Abraham Lincoln, seorang Republikan, sebelum pembunuhannya.

Pemakzulan itu, bermula dari pencopotan Edwin M. Stanton dari jabatannya sebagai Menteri Perang. Diganti dengan Brevet Mayor Jenderal Lorenzo Thomas. Sebelum itu, Presiden AS ke-17 ini memberhentikan Stanton dan mengangkat Jenderal Ulysses S. Grant sebagai Menteri Perang AS ad interim.

Namun, ia masih bernasib baik. Upaya penggulingannya gagal. Karena tak mencukupi syarat. Suara mayoritas senat yakni dua pertiga yang mendukung pemakzulannya, tidak tercapai.

Upaya pemakzulan kedua dialami Richard Nixon, gara-gara skandal watergate dalam pemilihan presiden 1972. Tahu posisinya terjepit dan kurang mendapat dukungan di Senat, ia langsung mengundurkan diri pada 8 Agustus 1974.

Meskipun sudah mundur, dan kongres mencabut proses pemakzulan, proses hukum terhadap Presiden AS ke-37 ini tetap dijalankan.

Setelah dua dekade lebih, upaya pemakzulan kembali mencuat. Giliran Bill Clinton. Pemakzulan itu dipicu oleh gugatan yang diajukan Paula Jones atas tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sang Presiden.

Pemakzulan diajukan Parlemen AS pada 8 Oktober 1998. Sejumlah alasan yang mendasarinya yaitu kejahatan tingkat tinggi dan tindak kriminal, berbohong di bawah sumpah, dan upaya menghalang-halangi hukum.

Lagi-lagi upaya pemakzulan itu gagal. Sidang pemakzulan di Senat yang dimulai pada Januari 1999, masih berpihak ke Clinton. Jumlah anggota Senat yang menyatakan Clinton bersalah, lebih sedikit dibandingkan yang membebaskannya. Walhasil, 12 Februari 1999, Clinton dibebaskan dari berbagai tuduhan. Presiden AS ke-42 ini tetap memegang tampuk kekuasaannya hingga masa jabatannya berakhir pada 2001.

Kesimpulannya, belum pernah ada upaya pemakzulan di AS yang berhasil. Diperkirakan, nasib Trump juga akan sama. Bahkan persis seperti Clinton.

"Bisa jadi. Karena di Senat, yang mayoritas adalah Partai Republik. Maka sepertinya mendapatkan 2/3 (suara) agak mustahil," prediksi Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, yang dikonfirmasi tadi malam.

Kecuali, lanjut dia, Demokrat mampu membentuk opini publik, yang mampu mengintervensi senat untuk memecat Trump. "Ya memang, Trump besar kemungkinan tetap menjabat Presiden," tuturnya.

Seperti diketahui, kongres AS terdiri dari DPR dan Senat. DPR mewakili sebuah distrik. Kursi di DPR dibagi berdasarkan jumlah penduduk tiap negara bagian. Sehingga jumlah DPR dari setiap negara bagian berbeda-beda.

Senat juga mewakili satu negara bagian. Bedanya, jika DPR berdasarkan jumlah penduduk, maka senat ditetapkan sebanyak dua orang untuk setiap negara bagian.

Di DPR, pendukung Trump memang kalah. Dalam pemungutan suara sesi pertama, sebanyak 230 suara mengatakan "ya" bahwa Trump menyalahgunakan kekuasaan. Hanya 197 suara yang menyatakan "tidak".




Di sesi kedua, sebanyak 229 anggota DPR AS menyatakan "sepakat", sementara 198 lainnya memilih "tidak sepakat" terhadap tudingan soal menghalangi upaya Kongres.

"Presiden dimakzulkan," kata Ketua DPR AS Nancy Pelosi usai pemungutan suara, Rabu (18/12).

Namun keputusan ini belum cukup untuk memecat Trump dari Presiden. Sebab, masih harus disidang lagi di Senat.

Di senat, peluang Trump menang cukup besar. Sebab, di kamar kedua kongres AS ini didominasi oleh Republikan, partai pendukung Trump.

Komposisinya, partai Republik memiliki 53 dari 100 kursi. Sedangkan Partai Demokrat hanya memiliki 45 kursi. Jika pun, dua suara independen, yaitu Angus King dari Maine dan Bernie Sanders dari Vermont merapat, juga belum cukup untuk menumbangkan Trump.

Apalagi, menurut Konstitusi AS, Presiden baru dapat diberhentikan, jika pemakzulan mendapat dukungan suara dua pertiga, atau 67 anggota dari 100 senator.

Analis dari Universitas Virginia Larry Sabato melihat kecil kemungkinan pencopotan Trump berhasil. "Saya tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan 20 senator Partai Republik untuk memilih menggulingkan Donald Trump," tuturnya, seperti dilansir VOA, kemarin.

Kecuali, senator dari Partai Republik mau ambil resiko. Yakni mundur dari jabatannya, setelah mengambil keputusan untuk memakzulkan Trump. Sebab, sebelumnya memang ada beberapa senator yang berani mengecam tindakan Trump, seperti Mitt Romney dari Utah dan Susan Collins dari Maine.

Jika Senat menyetujui pemakzulan Trump, maka Wakil Presiden AS Mike Pence yant akan menjadi penggantinya, untuk menjabat sampai 20 Januari 2021 mendatang. Kita tunggu saja perkembangannya.