Mahfud Ungkap Jual Beli UU dan Pasal Pesanan, Ini Kata DPR
Jadi, lumrah saja fenomena pasal pesanan itu? "Bukan lumrah. Tapi itulah politik. Politik itu kan pertarungan kepentingan. Sebuah keniscayaan. Tapi kemudian jangan di bawah tangan. Kalau di bawah tangan, itu pengkhianatan namanya,"
DPR meminta bukti dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menuding adanya pasal pesanan atau jual-beli Undang-undang (UU) di DPR. Jika perlu 'tunjuk hidung' orangnya. DPR marah?
JAKARTA, Bagus - Tudingan Mahfud itu terlontar saat berbicara di acara Temu Kebangsaan yang bertajuk Merawat Semangat Hidup Bersama di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (19/12). Dia mengatakan pembuatan peraturan hukum di Indonesia kerap kali kacau balau.
Bahkan, tak jarang ada pasal-pasal pesanan atau aturan hukum yang dibeli untuk kepentingan tertentu dalam proses legislasi sebuah peraturan perundang-undangan.
"Ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada," beber Mahfud.
Pasal pesanan itu, ungkap Mahfud, tidak hanya di level undang-undang, tetapi juga merambah sampai peraturan daerah (perda). Karena itu, banyak peraturan yang tumpang tindih. Mulai dari bidang perpajakan hingga perizinan. "Disponsori oleh orang-orang tertentu, agar ada aturan tertentu," lanjut dia.
Mantan Ketua MK itu melanjutkan, langkah Presiden Joko Widodo mengajukan omnibus law akan menjadi solusi, untuk menyelaraskan banyaknya aturan hukum yang tumpang tindih itu. "Peraturan berbeda-beda akan di-omnibus dijadikan satu," imbuhnya.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas lalu merespons pernyataan Mahfud soal UU pesanan itu. Ia berharap agar Mahfud berbicara lebih jelas terkait tudingannya itu. Sebab, kata dia, yang bisa mengusulkan pembuatan UU bukan cuma DPR, tapi juga pemerintah.
"Akan lebih bagus jika Pak Mahfud bisa menunjukkan," tantang Supratman, kepada wartawan, kemarin.
Sebagai Ketua Baleg, Supratman mengaku tidak bisa mengatakan tuduhan itu benar atau tidak. "Karena di Baleg kan tugasnya menyusun prolegnas (program legislasi nasional)," sebutnya.
Politisi Gerindra itu pun kembali merinci pihak mana saja yang dapat mengusulkan UU. Dia bilang ada tiga, yakni DPR, DPD dan Pemerintah. Ia kemudian kembali mempertanyakan, oknum jual-beli UU yang dimaksud Mahfud itu ada di pihak mana. "Apakah yang dimaksud Pak Mahfud itu ketiga-tiganya?," tanya dia.
Lalu ia juga mempertanyakan atas dasar apa Mahfud mengeluarkan tuduhan itu? Apakah berdasarkan pengalaman Mahfud selama menjabat di pemerintahan. "Atau pengalaman Pak Mahfud pada saat beliau menjabat sebagai anggota DPR," sindirnya.
Wakil Ketua Baleg Willy Aditya juga angkat bicara. Politisi Nasdem itu menilai, jual-beli UU itu adalah praktek buruk bagi parlemen. Namun, terlepas dari itu, lanjut dia, adalah sebuah keniscayaan jika parlemen itu menjadi kancah pertarungan keberpihakan dan kepentingan. Karena itu, ia meminta agar semua pihak terbuka saja.
"Justru harus ekspresif. Dia berjuang untuk siapa dan berpihak terhadap kepentingan yang mana. Jadi jangan alergi," terang Willy ketika dikontak tadi malam.
Jadi, lumrah saja fenomena pasal pesanan itu?
"Bukan lumrah. Tapi itulah politik. Politik itu kan pertarungan kepentingan. Sebuah keniscayaan. Tapi kemudian jangan di bawah tangan. Kalau di bawah tangan, itu pengkhianatan namanya," lanjutnya.
Sebagai orang baru di Baleg, Willy menilai praktek buruk jual-beli UU itu harus diperbaiki. Kalau masih terjadi, ia meminta untuk di-publish siapa pelaku jual-beli UU itu.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya transaksi jual-beli UU itu terulang, ia juga mendorong agar fraksi-fraksi di Baleg punya sikap yang jelas terkait keberpihakannya.
Apa DPR tersinggung dengan ucapan Mahfud?
Secara pribadi, Willy mengaku tidak tersinggung. Ia ogah bawa perasaan (baper) terkait tudingan Mahfud terhadap lembaganya. Kalau terbukti adanta praktik buruk dalam hal legislasi, maka menjadi tanggung jawab Baleg untuk memperbaikinya. "Itulah tugasnya yang muda-muda, yang punya idealisme untuk memperbaiki itu," tuntasnya.
|
JAKARTA, Bagus - Tudingan Mahfud itu terlontar saat berbicara di acara Temu Kebangsaan yang bertajuk Merawat Semangat Hidup Bersama di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (19/12). Dia mengatakan pembuatan peraturan hukum di Indonesia kerap kali kacau balau.
Bahkan, tak jarang ada pasal-pasal pesanan atau aturan hukum yang dibeli untuk kepentingan tertentu dalam proses legislasi sebuah peraturan perundang-undangan.
"Ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada," beber Mahfud.
Pasal pesanan itu, ungkap Mahfud, tidak hanya di level undang-undang, tetapi juga merambah sampai peraturan daerah (perda). Karena itu, banyak peraturan yang tumpang tindih. Mulai dari bidang perpajakan hingga perizinan. "Disponsori oleh orang-orang tertentu, agar ada aturan tertentu," lanjut dia.
Mantan Ketua MK itu melanjutkan, langkah Presiden Joko Widodo mengajukan omnibus law akan menjadi solusi, untuk menyelaraskan banyaknya aturan hukum yang tumpang tindih itu. "Peraturan berbeda-beda akan di-omnibus dijadikan satu," imbuhnya.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas lalu merespons pernyataan Mahfud soal UU pesanan itu. Ia berharap agar Mahfud berbicara lebih jelas terkait tudingannya itu. Sebab, kata dia, yang bisa mengusulkan pembuatan UU bukan cuma DPR, tapi juga pemerintah.
"Akan lebih bagus jika Pak Mahfud bisa menunjukkan," tantang Supratman, kepada wartawan, kemarin.
Sebagai Ketua Baleg, Supratman mengaku tidak bisa mengatakan tuduhan itu benar atau tidak. "Karena di Baleg kan tugasnya menyusun prolegnas (program legislasi nasional)," sebutnya.
Politisi Gerindra itu pun kembali merinci pihak mana saja yang dapat mengusulkan UU. Dia bilang ada tiga, yakni DPR, DPD dan Pemerintah. Ia kemudian kembali mempertanyakan, oknum jual-beli UU yang dimaksud Mahfud itu ada di pihak mana. "Apakah yang dimaksud Pak Mahfud itu ketiga-tiganya?," tanya dia.
Lalu ia juga mempertanyakan atas dasar apa Mahfud mengeluarkan tuduhan itu? Apakah berdasarkan pengalaman Mahfud selama menjabat di pemerintahan. "Atau pengalaman Pak Mahfud pada saat beliau menjabat sebagai anggota DPR," sindirnya.
Wakil Ketua Baleg Willy Aditya juga angkat bicara. Politisi Nasdem itu menilai, jual-beli UU itu adalah praktek buruk bagi parlemen. Namun, terlepas dari itu, lanjut dia, adalah sebuah keniscayaan jika parlemen itu menjadi kancah pertarungan keberpihakan dan kepentingan. Karena itu, ia meminta agar semua pihak terbuka saja.
"Justru harus ekspresif. Dia berjuang untuk siapa dan berpihak terhadap kepentingan yang mana. Jadi jangan alergi," terang Willy ketika dikontak tadi malam.
Jadi, lumrah saja fenomena pasal pesanan itu?
"Bukan lumrah. Tapi itulah politik. Politik itu kan pertarungan kepentingan. Sebuah keniscayaan. Tapi kemudian jangan di bawah tangan. Kalau di bawah tangan, itu pengkhianatan namanya," lanjutnya.
Sebagai orang baru di Baleg, Willy menilai praktek buruk jual-beli UU itu harus diperbaiki. Kalau masih terjadi, ia meminta untuk di-publish siapa pelaku jual-beli UU itu.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya transaksi jual-beli UU itu terulang, ia juga mendorong agar fraksi-fraksi di Baleg punya sikap yang jelas terkait keberpihakannya.
Apa DPR tersinggung dengan ucapan Mahfud?
Secara pribadi, Willy mengaku tidak tersinggung. Ia ogah bawa perasaan (baper) terkait tudingan Mahfud terhadap lembaganya. Kalau terbukti adanta praktik buruk dalam hal legislasi, maka menjadi tanggung jawab Baleg untuk memperbaikinya. "Itulah tugasnya yang muda-muda, yang punya idealisme untuk memperbaiki itu," tuntasnya.