Pro-kontra Perpres Baru: KPK Jadi Bawahan Presiden
Peraturan Presiden (Pepres) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang KPK diwarnai kontroversi. Karena KPK diwacanakan berada di bawah Presiden.
JAKARTA, Bagus - Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Perpres ini dibuat untuk menjawab tuntutan pasca-disahkannya undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang 30 tahun 2003 tentang KPK.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung memastikan bahwa tidak ada itikad buruk dari pemerintah untuk melemahkan KPK. Justru di dalam Perpres tersebut, kata Pramono, lembaga anti rasuah ini dikuatkan.
"Karena bagi pemerintahan ini dengan KPK yang kuat, yang diuntungkan siapa? Yang diuntungkan pemerintah," kata Pramono di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat kemarin.
Ada 3 Perpres yang sedang disiapkan, antara lain tentang Dewan Pengawas, organisasi KPK, hingga status para pegawai KPK yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun Perpres yang diajukan Kemenkumham dan Kemen PANRB itu, kata Pramono belum diteken oleh Presiden.
"Karena sudah dalam proses tentunya akan segera diselesaikan," jelasnya.
Soal posisi pimpinan KPK, diatur dalam pasal 1, ayat 1 draf perpres KPK tentang organisasi dan tata kerja pimpinan dan organ pelaksana pimpinan KPK.
Pimpinan KPK, bunyi draf perpres itu, merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala negara. Perpres ini merupakan turunan dari UU nomor 19 Tahun 2019 atau UU KPK versi revisi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta semua pihak tidak berburuk sangka terhadap poin-poin yang tercantum di dalam perpres tersebut. Ia meminta masyarakat percaya kepada Pemerintah.
"Yang susahnya kan yang disampaikan itu seolah-olah itu melemahkan ini kan belum dilihat secara utuh. Kasih aja kepercayaan, kita lihat nanti kita lihat betul-betul, kita kawal bersama, kita jaga bersama," kata Yasonna di kantornya kemarin.
Selain soal perpres yang menempatkan KPK di bawah Presiden, posisi Ketua KPK Firli Bahuri yang belum memutuskan pensiun dini dari Korps Bhayangkara juga dibanjiri kritik. Karena dikhawatirkan terjadinya konflik kepentingan.
Namun, Menko Polhukam Mahfud Md membela Firli. Menurutnya, keputusan untuk pensiun atau tidak itu sepenuhnya menjadi hak Firli. Namun, mantan Ketua MK itu menggaris bawahi bahwa, meskipun masih tercatat sebagai anggota polisi, bukan berarti Firli bekerja di bawah Kapolri.
"Nggak (di bawah Kapolri). Karena jabatan KPK setingkat dengan Polri. Di bawahnya siapa nggak bisa," kata Mahfud di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat," kemarin.
Mahfud memastikan bahwa status Firli saat ini nonaktif di Polri. Namun, apabila tugas Firli di KPK selesai, sementara masa kerja di Polri masih panjang, menurut UU, kata Mahfud, Firli dibenarkan kembali bertugas di kepolisian.
Sebelumnya, Firli menilai posisi Analis Kebijakan Utama Baharkam Polri bukan jabatan. Namun, Ketua KPK yang baru itu irit bicara terkait desakan agar dirinya pensiun dini dari kepolisian. "Itu bukan jabatan," jelas Firli, singkat.
Soal posisi KPK di bawah Presiden, para pegiat hukum dan antikorupsi masih beda pendapat. Pengamat hukum Erwin Natosmal Oemar misalnya.
Ia membenarkan bahwa KPK adalah lembaga di bawah rumpun eksekutif. Meskipun demikian, lanjutnya di dalam melaksanakan tugas dan wewenang, KPK harus bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
"Sedangkan perpres itu bukannya memperkuat posisi KPK sebagai lembaga independen dalam bekerja malah membuat lembaga antikorupsi itu menjadi lembaga yang tergantung pada Presiden," kata Erwin kepada Rakyat Merdeka tadi malam.
Lalu bagaimana dengan status Firli yang masih belum pensiun dini. Erwin menjawab singkat, ia tidak setuju Ketua KPK menjadi bawahan Kapolri. "NO!," tegasnya.
Soal draf perpres, praktisi hukum J Kamal Farza memilih percaya kepada Presiden Jokowi. Ia yakin, perpres tersebut tidak akan menggerus independensi KPK. “Sebab dengan Undang-undang KPK yang ada, negara sudah menjamin indepensi KPK,” ujarnya, menjawab Rakyat Merdeka.
Ia juga memilih berprangka baik, bahwa Presiden Jokowi tidak mungkin punya keinginan melemah KPK, dengan menempatkan lembaga anti rasuah itu di bawah Presiden. Apalagi, lanjut dia, di tengah kontroversi saat ini, perpres tersebut belum diteken.
"Gak mungkin Presiden akan menerbitkan Perpres seperti itu, karna hal itu bertentangan dengan Undang-undang,” tuturnya.
Hanya saja, Kamal setuju dengan rencana penataan status kepegawaian KPK. Sebab KPk adalah lembaga negara. "Independensi sebuah lembaga negara bukan berarti mereka bisa semaunya. Pegawai KPK itu adalah ASN (Aparatur Sipil Negara), yang tunduk dengan UU ASN," lanjut dia.
Sementara soal status Ketua KPK, Kamal meyakini Firli sudah paham prosedur. Dia tidak setuju, jika Ketua KPK jadi bawahan Kapolri.
"Saya rasa Pak Firli pasti mengetahui hal itu, apalagi jika beliau ingin menjaga independensi KPK, maka jabatannya sebagai anggota Polri harus non aktif dulu," pungkasnya.
|
JAKARTA, Bagus - Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Perpres ini dibuat untuk menjawab tuntutan pasca-disahkannya undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang 30 tahun 2003 tentang KPK.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung memastikan bahwa tidak ada itikad buruk dari pemerintah untuk melemahkan KPK. Justru di dalam Perpres tersebut, kata Pramono, lembaga anti rasuah ini dikuatkan.
"Karena bagi pemerintahan ini dengan KPK yang kuat, yang diuntungkan siapa? Yang diuntungkan pemerintah," kata Pramono di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat kemarin.
Ada 3 Perpres yang sedang disiapkan, antara lain tentang Dewan Pengawas, organisasi KPK, hingga status para pegawai KPK yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun Perpres yang diajukan Kemenkumham dan Kemen PANRB itu, kata Pramono belum diteken oleh Presiden.
"Karena sudah dalam proses tentunya akan segera diselesaikan," jelasnya.
Soal posisi pimpinan KPK, diatur dalam pasal 1, ayat 1 draf perpres KPK tentang organisasi dan tata kerja pimpinan dan organ pelaksana pimpinan KPK.
Pimpinan KPK, bunyi draf perpres itu, merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala negara. Perpres ini merupakan turunan dari UU nomor 19 Tahun 2019 atau UU KPK versi revisi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta semua pihak tidak berburuk sangka terhadap poin-poin yang tercantum di dalam perpres tersebut. Ia meminta masyarakat percaya kepada Pemerintah.
"Yang susahnya kan yang disampaikan itu seolah-olah itu melemahkan ini kan belum dilihat secara utuh. Kasih aja kepercayaan, kita lihat nanti kita lihat betul-betul, kita kawal bersama, kita jaga bersama," kata Yasonna di kantornya kemarin.
Selain soal perpres yang menempatkan KPK di bawah Presiden, posisi Ketua KPK Firli Bahuri yang belum memutuskan pensiun dini dari Korps Bhayangkara juga dibanjiri kritik. Karena dikhawatirkan terjadinya konflik kepentingan.
Namun, Menko Polhukam Mahfud Md membela Firli. Menurutnya, keputusan untuk pensiun atau tidak itu sepenuhnya menjadi hak Firli. Namun, mantan Ketua MK itu menggaris bawahi bahwa, meskipun masih tercatat sebagai anggota polisi, bukan berarti Firli bekerja di bawah Kapolri.
"Nggak (di bawah Kapolri). Karena jabatan KPK setingkat dengan Polri. Di bawahnya siapa nggak bisa," kata Mahfud di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat," kemarin.
Mahfud memastikan bahwa status Firli saat ini nonaktif di Polri. Namun, apabila tugas Firli di KPK selesai, sementara masa kerja di Polri masih panjang, menurut UU, kata Mahfud, Firli dibenarkan kembali bertugas di kepolisian.
Sebelumnya, Firli menilai posisi Analis Kebijakan Utama Baharkam Polri bukan jabatan. Namun, Ketua KPK yang baru itu irit bicara terkait desakan agar dirinya pensiun dini dari kepolisian. "Itu bukan jabatan," jelas Firli, singkat.
Soal posisi KPK di bawah Presiden, para pegiat hukum dan antikorupsi masih beda pendapat. Pengamat hukum Erwin Natosmal Oemar misalnya.
Ia membenarkan bahwa KPK adalah lembaga di bawah rumpun eksekutif. Meskipun demikian, lanjutnya di dalam melaksanakan tugas dan wewenang, KPK harus bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
"Sedangkan perpres itu bukannya memperkuat posisi KPK sebagai lembaga independen dalam bekerja malah membuat lembaga antikorupsi itu menjadi lembaga yang tergantung pada Presiden," kata Erwin kepada Rakyat Merdeka tadi malam.
Lalu bagaimana dengan status Firli yang masih belum pensiun dini. Erwin menjawab singkat, ia tidak setuju Ketua KPK menjadi bawahan Kapolri. "NO!," tegasnya.
Soal draf perpres, praktisi hukum J Kamal Farza memilih percaya kepada Presiden Jokowi. Ia yakin, perpres tersebut tidak akan menggerus independensi KPK. “Sebab dengan Undang-undang KPK yang ada, negara sudah menjamin indepensi KPK,” ujarnya, menjawab Rakyat Merdeka.
Ia juga memilih berprangka baik, bahwa Presiden Jokowi tidak mungkin punya keinginan melemah KPK, dengan menempatkan lembaga anti rasuah itu di bawah Presiden. Apalagi, lanjut dia, di tengah kontroversi saat ini, perpres tersebut belum diteken.
"Gak mungkin Presiden akan menerbitkan Perpres seperti itu, karna hal itu bertentangan dengan Undang-undang,” tuturnya.
Hanya saja, Kamal setuju dengan rencana penataan status kepegawaian KPK. Sebab KPk adalah lembaga negara. "Independensi sebuah lembaga negara bukan berarti mereka bisa semaunya. Pegawai KPK itu adalah ASN (Aparatur Sipil Negara), yang tunduk dengan UU ASN," lanjut dia.
Sementara soal status Ketua KPK, Kamal meyakini Firli sudah paham prosedur. Dia tidak setuju, jika Ketua KPK jadi bawahan Kapolri.
"Saya rasa Pak Firli pasti mengetahui hal itu, apalagi jika beliau ingin menjaga independensi KPK, maka jabatannya sebagai anggota Polri harus non aktif dulu," pungkasnya.