DPR Serukan Lockdown, Ini Landasan Hukum DPR
Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay meminta agar pemerintah memberlakukan lockdown untuk membatasi penyebaran coronavirus COVID-19. Landasan hukumnya, sebut dia adalah UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh mengatakan dalam UU No. 6/2018 dijelaskan secara teknis terkait Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Menurutnya, pemerintah sudah bisa menerapkan kedaruratan kesehatan karena kejadian yang ada saat ini sudah bersifat luar biasa. Indikasinya ditandai dengan penyebaran virus corona yang membahayakan kesehatan dimana sudah menyebar di lintas wilayah atau lintas negara.
"Di dalam UU itu dijelaskan ada tiga karantina, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah," kata mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah itu.
Anggota Komisi Kesehatan DPR itu menjabarkan, karantina rumah yang dimaksud difokuskan untuk mengisolasi yang terinfeksi di suatu rumah tertentu dengan pengawasan ketat. Semua kebutuhannya, sebut dia harus dipenuhi, termasuk pengobatan dan para medisnya.
Karantina rumah sakit juga demikian. Hanya saja dilakukan di rumah sakit. Mereka yang sedang dirawat mestinya dijaga sehingga tidak bisa keluar rumah sakit sampai lolos uji dan dinyatakan sembuh.
Sementara itu, karantina wilayah ini lebih mirip dengan lockdown di luar negeri. "Karantina wilayah memang agak sulit dilaksanakan," nilainya.
Karena, kebijakan karantina wilayah perlu kajian akademis sebelum dilaksanakan. Termasuk memikirkan agar semua kebutuhan pokok warga dapat dipenuhi selama dilaksanakannya karantina. Selain itu, mobilitas warga juga harus dikontrol. Jika tidak diperlukan, mereka tidak diperkenankan untuk keluar rumah dan meninggalkan area yang dikarantina.
“Sekolah dan kampus diliburkan, keramaian dan kerumunan dilarang, para pekerja diminta bekerja di rumah, produksi dan distribusi pangan harus dipastikan aman, aparat kepolisian dan TNI harus menjaga agar warga tertib dan mengikuti semua instruksi pemerintah. Tentu upaya-upaya pengetesan dan pengujian sampling harus tetap dilanjutkan. Termasuk pengobatan dan isolasi bagi mereka yang terinfeksi”.
Kalaupun pemerintah belum memilih apakah karantina rumah, karantina rumah sakit, atau karantina wilayah, ia mendesak agar tindakan ke arah itu harus tetap dipersiapkan. "Apalagi saat ini sudah ada gugus tugas yang dibentuk," ucapnya.
Gugus tugas ini, harapnya dapat melibatkan para ahli dan akademisi untuk menentukan tindakan dan langkah yang terbaik yang harus dilakukan”
Selain karantina, dalam UU No. 6 tentang Kekarantinaan Kesehatan, terang Saleh juga memberikan alternatif untuk melakukan pembatasan sosial.
Mirip dengan karantina, tapi pembatasan sosial terkesan tidak begitu ketat. Bedanya, pembatasan sosial kelihatannya lebih pada upaya membatasi orang-orang melakukan pertemuan dalam skala besar. Termasuk agenda-agenda sosial keagamaan, keumatan, kepemudaan, olah raga, tempat rekreasi, dan pusat-pusat perbelanjaan.
“Dari keempat alternatif itu, sejauh ini belum ada yang dilakukan secara baku. Kalaupun ada pembatasan sosial di daerah, itu justru lebih pada kebijakan kepala daerah. Ini yang mestinya disinergikan dengan kebijakan pemerintah pusat," pungkas anggota DPR dapil Sumut II itu.
|
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh mengatakan dalam UU No. 6/2018 dijelaskan secara teknis terkait Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Menurutnya, pemerintah sudah bisa menerapkan kedaruratan kesehatan karena kejadian yang ada saat ini sudah bersifat luar biasa. Indikasinya ditandai dengan penyebaran virus corona yang membahayakan kesehatan dimana sudah menyebar di lintas wilayah atau lintas negara.
"Di dalam UU itu dijelaskan ada tiga karantina, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah," kata mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah itu.
Anggota Komisi Kesehatan DPR itu menjabarkan, karantina rumah yang dimaksud difokuskan untuk mengisolasi yang terinfeksi di suatu rumah tertentu dengan pengawasan ketat. Semua kebutuhannya, sebut dia harus dipenuhi, termasuk pengobatan dan para medisnya.
Karantina rumah sakit juga demikian. Hanya saja dilakukan di rumah sakit. Mereka yang sedang dirawat mestinya dijaga sehingga tidak bisa keluar rumah sakit sampai lolos uji dan dinyatakan sembuh.
Sementara itu, karantina wilayah ini lebih mirip dengan lockdown di luar negeri. "Karantina wilayah memang agak sulit dilaksanakan," nilainya.
Karena, kebijakan karantina wilayah perlu kajian akademis sebelum dilaksanakan. Termasuk memikirkan agar semua kebutuhan pokok warga dapat dipenuhi selama dilaksanakannya karantina. Selain itu, mobilitas warga juga harus dikontrol. Jika tidak diperlukan, mereka tidak diperkenankan untuk keluar rumah dan meninggalkan area yang dikarantina.
“Sekolah dan kampus diliburkan, keramaian dan kerumunan dilarang, para pekerja diminta bekerja di rumah, produksi dan distribusi pangan harus dipastikan aman, aparat kepolisian dan TNI harus menjaga agar warga tertib dan mengikuti semua instruksi pemerintah. Tentu upaya-upaya pengetesan dan pengujian sampling harus tetap dilanjutkan. Termasuk pengobatan dan isolasi bagi mereka yang terinfeksi”.
Kalaupun pemerintah belum memilih apakah karantina rumah, karantina rumah sakit, atau karantina wilayah, ia mendesak agar tindakan ke arah itu harus tetap dipersiapkan. "Apalagi saat ini sudah ada gugus tugas yang dibentuk," ucapnya.
Gugus tugas ini, harapnya dapat melibatkan para ahli dan akademisi untuk menentukan tindakan dan langkah yang terbaik yang harus dilakukan”
Selain karantina, dalam UU No. 6 tentang Kekarantinaan Kesehatan, terang Saleh juga memberikan alternatif untuk melakukan pembatasan sosial.
Mirip dengan karantina, tapi pembatasan sosial terkesan tidak begitu ketat. Bedanya, pembatasan sosial kelihatannya lebih pada upaya membatasi orang-orang melakukan pertemuan dalam skala besar. Termasuk agenda-agenda sosial keagamaan, keumatan, kepemudaan, olah raga, tempat rekreasi, dan pusat-pusat perbelanjaan.
“Dari keempat alternatif itu, sejauh ini belum ada yang dilakukan secara baku. Kalaupun ada pembatasan sosial di daerah, itu justru lebih pada kebijakan kepala daerah. Ini yang mestinya disinergikan dengan kebijakan pemerintah pusat," pungkas anggota DPR dapil Sumut II itu.