Ujian Nasional 'Dimatikan', Ujian Internasional Dihidupkan

Setelah Ujian Nasional (UN) resmi dibatalkan pada 23 Maret lalu, dengan alasan mencegah penyebaran Covid-19, opsi-opsi baru dalam melakukan evaluasi pendidikan mulai dibuka. Salah satunya sistem evaluasi dengan standar internasional.

  • Presiden Joko Widodo. Foto: Twitter @jokowi

JAKARTA - Ospi itu sempat mengemuka dalam pengantar Rapat Terbatas (Ratas) tentang Strategi Peningkatan Peringkat Indonesia dalam Programme for International Stundents Assessment (PISA), yang disampaikan Presiden Joko Widodo, Jumat (3/4).

Menurut Jokowi, pembatalan UN bisa dijadikan momentum untuk merumuskan ulang sistem evaluasi standar dasar pendidikan dan menengah secara nasional. Dari standar nasional ke internasional.

"Apakah dalam pengendalian mutu pendidikan secara nasional hanya mengunakan UN, atau juga kita bisa menggunakan standar yang di pakai secara internasional seperti PISA," kata Jokowi.

Eks Wali Kota Solo itu mengingatkan bahwa Indonesia telah ikut dalam survey PISA bisa selama 7 putaran, mulai tahun 2000 hingga 2018. Hasilnya, sistem pendidikan Indonesia sudah berubah menjadi lebih inklusif, terbuka dan meluas aksesnya selama 18 tahun terakhir.

"Namun laporan yang saya terima tahun 2018 menurun di 3 bidang kompetensi dengan penurunan terbesar di bidang membaca," ungkap Presiden.

Jokowi merinci, skor kemampuan membaca siswa Indonesia dengan soal: 371, berada di posisi 74. Sementara kemampuan matematika skornya 379 atau berada di posisi 73. Sedangkan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi 71.

Hasil temuan survey PISA itu menunjukkan ada 3 permasalahan utama yang harus diatasi. Pertama, besarnya persentase siswa berprestasi rendah.

"Meski kita tahu Indonesia berhasil meningkatkan akses anak usia 15 tahun terhadap sistem sekolah," lanjutnya.

Akan tetapi, tambah Jokowi, masih diperlukan upaya lebih besar untuk dapat memacu lebih jauh. Agar target siswa berprestasi rendah ditekan hingga berada di kisaran 15 sampai 20 persen di 2030.

Dua persoalan lainnya, sebut Jokowi adalah masih tingginya persentase siswa untuk mengulang kelas, yakni sebesar 16 persen. Atau 5 persen lebih tinggi dibanding rata-rata di negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Selain itu, tingkat ketidakhadiran siswa di kelas juga masig tinggi.

Mengacu pada hasil survei PISA tersebut, Jokowi menyebut perlu ada langkah-langkah perbaikan yang menyeluruh. Baik dari aspek peraturan, regulasi, anggaran, infrastruktur, manajemen sekolah, maupun masalah kualitas dan beban administratif guru.

Jokowi menyesalkan, masih besarnya beban administratif yang mesti diemban oleh guru-guru. Padahal, semestinya kerja para guru lebih terfokus pada kegiatan belajar-mengajar.

Selain itu, guru juga diperlukan ntuk mengetahui potensi dan mengembangkan kemampuan para siswa peserta didiknya. Bukan pada hal-hal yang berkaitan dengan administrasi. "Ini tolong digaris bawahi," tegas Presiden.

Aspek lain, yang juga dijadikan perhatian adalah perbaikan proses belajar-mengajar. Terutama dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Selain itu, kata Jokowi perbaikan lingkungan belajar siswa juga diperlukan, seperti untuk menambah motivasi belajar dan menekan tindakan perundungan di sekolah.

"Hasil survei PISA dan evaluasi UN juga menyebut, terdapat dukungan yang kuat antara kondisi sosial-ekonomi siswa dengan capaian hasil UN atau skor nilai PISA," pungkas Jokowi.