Din Minimi Kebal Ditembak Senapan M16 & SS1
Tulisan ini adalah bagian ketiga dari sekelumit pengalaman menemui kelompok bersenjata pimpinan Nurdin Ismail. Alias Din Minimi. Eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang paling dicari sepanjang tahun 2014-2015 lalu.
Bekas luka tembakan di punggung Gambit, salah seorang pimpinan kelompok bersenjata di Aceh sebelum Din Minimi. Foto: Muhammad |
Parut sedikit lebih besar dari telapak kaki bayi menjorok ke dalam menganga di punggung bagian kanan atas.
"Ini bekas luka tembak ketika konflik, satu lagi di bagian paha sebelah kanan," ujar Gambit sambil menyibak baju keatas menunjukkan bekas luka.
Beda dengan Din Minimi yang dikenal kebal peluru. Namun, Din juga mengaku heran mengapa dia bisa kebal. Tapi yang pasti, pernah beberapa kali dites tembak menggunakan senjata jenis M16 dan SS1, namun tidak mempan. "Cuma lembam dan biru, jatuh dengan Minimi waktu di Tangse" ungkap Din. Namun ketika ditanya apakah dia punya jimat atau sihir, suami Lisnawati ini mengaku tidak punya. "Kalau sihir, nggak bisa ke masjid kita," ujarnya, tertawa kecil. "Saya nggak tahu, itu urusan Allah. Tapi saya tidak mengandalkan kebal," tambahnya.
Bagian kedua: Dapat Rp 100 Juta, Din Minimi Bagi Rata Ke Anggota & Kenduri
Berbeda dengan Gambit, luka di bagian punggung itu membekas, sama seperti rasa kecewanya pada elit GAM. Dia merasa tak diperhatikan, seperti anak ayam kehilangan induknya. Tak ada dari pihak GAM yang datang menjenguk, ketika dirinya dilarikan ke Rumah sakit. Saat itu, kisahnya, paha bekas luka tembak tiba-tiba membengkak besar akibat infeksi, disusul panas tinggi. Hanya keluarga yang merawatnya. Mulai saat itulah dia merasa sendiri dan ditinggalkan. Padahal banyak teman seperjuangannya kini hidup sejahtera, sukses menduduki banyak jabatan strategis di lingkup pemerintahan. Sebagian lagi jadi kontraktor karena dekat penguasa. "Yang kaya bertambah kaya, yang miskin semakin miskin," katanya.
Paha itu membengkak, kata Gambit, karena pascadamai Gambit melakukan kerja-kerja berat yang menuntutnya banyak berdiri, sehingga sangat membebani paha yang sudah rentan. Dia bekerja serabutan, mulai dari tukang panggul, tukang pengatur jalan proyek, hingga tukang potong rumput. Pernah beberapa kali dia mencoba mencari pekerjaan lain, tapi gagal. Bagi seorang bekas kombatan seperti dirinya, tentu tak mudah mendapat pekerjaan. Dia nyaris kehilangan harapan hidup. Puncaknya, ketika permohonan kerjanya untuk menjadi penjaga alat berat salah satu proyek ditolak.
"Kata mereka nggak apa-apa nggak dijaga. Kesal, makanya saya bakar (alat berat) biar ada apa-apa," ujarnya.
Setelah kejadian itulah dia memutuskan untuk mengambil kembali senjata laras panjangnya, yang selama ini disembunyikan di belakang lemari. Sejak saat itu, Gambit mulai ramai diberitakan melakukan sejumlah aksi teror di Aceh. Dia mengaku, banyak eks kombatan yang minta bergabung. Namun ditolak. Hanya satu orang yang menemaninya. Kini masih buron. Gambit berjanji setelah masa tahanannya usai, dia akan membujuk rekannya untuk menyerahkan senjata, dan kembali ke masyarakat.
Di rutan yang sama, empat anggota Din Minimi yang kami temui kelihatan sumringah ketika mendengar kabar akan adanya pemberian amnesti. "Alhamdulillah," ujar mereka kompak. Ditengah obrolan, Gambit datang mengantar minuman. Dia juga mengaku gembira, meskipun kelompoknya tidak masuk dalam pemberian amnesti.
Namun raut wajah harap-harap cemas empat anggota Nurdin ini tak dapat disembunyikan, kalau-kalau mereka dilupakan dan tak mendapat amnesti. Namun Mujibur alias Adun optimis Pemerintah akan bersikap adil.
"Kami ingin lebih baik ke depan, dijauhkan dari kriminal, dan bisa mewujudkan cita-cita untuk mensejahterakan anak yatim, janda dan kombatan dibawah garis kemiskinan," harap Adun yang kini menjalani vonis delapan tahun penjara.
Sebab menurutnya, selama ini Pemerintah Pusat selalu punya itikad baik terhadap Aceh, tinggal pemerintah Aceh saja yang sering melanggar janjinya.
"Kalau kita lihat dipusat, nggak ada yang melanggar. Penuh diberikan untuk Aceh," lanjut Adun.
Din Minimi juga demikian, dia sangat yakin Pemerintah pusat tidak akan melanggar janjinya. "Pak Sutiyoso itu bukan orang sembarangan, ada empat bintang dan pernah jadi Gubernur. Nggak mungkin dia hari ini bilang A besok B. Dia orang yang dituakan di Indonesia. Kalau dia A, Presiden juga begitu. Nggak bolak-balik," ujar Din Minimi meyakinkan.
Di tempat terpisah, Din Minimi mengaku punya cita-cita khusus untuk para anggotanya, dia ingin dirinya bersama anggota punya rumah dalam satu komplek, guna memastikan anak buahnya tidak lagi terlibat dalam kasus teror dan tindak kriminal. Sehingga tidak ada lagi kelompok-kelompok bersenjata dan pelaku tindak kriminal yang mengaku-ngaku anggotanya.
"Kita usaha carikan pekerjaan, supaya setiap pagi keluar, sorenya pulang bisa kita pantau dalam satu komplek rumah," kata Din.
Belakangan, Abu Rimba dari kelompok yang mengatasnamakan TRAK (Tentara Rakyat Aceh Keadilan) juga disebut-sebut pecahan Din Minimi. Memang, sebelumnya kata Kepala BIN Sutiyoso, masih ada tiga anggota Din Minimi yang sudah putus kontak dan belum menyerahkan senjata. Tapi menurut Din Minimi, Abu Rimba bukan bagian dari kelompoknya. Menurut Din, dua dari tiga anggota yang terpisah itu kini sudah diketahui keberadaannya. Dan kedua-duanya kini tidak lagi bersenjata, sudah diserahkan ke Kodim Bireun.
Kontak terakhir, dua anggotanya itu saat ini tengah berada di Malaysia. Hanya si Dedi alias Belot yang belum diketahui keberadaannya.
"Ban-ban nyoe na ku kirem ureung keudeh u Malaya. Na jih ideh di Malaya, di jalan Haluan," ujar Din. (Baru-baru ini ada saya kirim orang ke Malaysia. Ada di sana mereka di Malaysia, di Jalan Haluan).
Din Minimi memang sudah turun gunung, tapi kini muncul lagi kelompok TRAK pimpinan Abu Rimba nama alias dari Maimun, yang juga mengaku bekas kombatan GAM. Kelompok yang beranggotakan 40 orang ini juga adalah kelompok yang kecewa pada elitnya yang kini memimpin Aceh, yakni Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Mereka juga bersenjata.
Memang, diakui Safaruddin Direktur YARA (Yayasan Advokasi Rakyat Aceh), konflik yang berkepanjangan di Aceh telah menyebabkan kemiskinan luar biasa. Banyak korban harta benda. Perlu pendekatan kesejahteraan untuk menekan timbulnya kembali kelompok bersenjata ini, bukan pendekatan militer atau kekerasan. Salah satunya yang terpenting adalah membentuk komisi Klaim.
"Selain KKR untuk mengungkap pelanggaran HAM, ada yang lebih penting lagi, yaitu komisi Klaim. Setidaknya di masa damai ini masyarakat bisa mendapatkan kembali harta benda mereka yang telah hilang di masa konflik," ujarnya, sembari membolak-balik koran pagi lokal saat ditemui di kantornya di Banda Aceh.
Subuh, saya bersama anggota YARA tiba di kantornya dari kediaman Din Minimi, setelah menempuh delapan jam perjalanan. Lalu bertolak kembali ke Jakarta.