Dalil Prof Romli Minta Komnas HAM Setop Kasus TWK KPK
Prof Romli Atmasasmita meminta Komnas HAM berhenti menangani kasus alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Bukan sekedar minta, tapi Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran tersebut mengaku punya dalil kuat atas omongannya ini.
Prof Romli Atmasasmita saat diminta sebagai ahli pemohon uji materiil UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) di Mahkamah Konstitusi 15 November 2017 lalu. FOTO: MKRI |
Sayangnya, Kepala BKN tidak bisa menyanggupi. Karena pemilik instrumen adalah Dinas Psikologi Angkatan Darat selaku yang melakukan wawancara, dan BNPT yang melaksanakan profiling-nya.
"Kepala BKN dalam penjelasannya menyatakan tidak memiliki data-data hasil test yang diminta krn semua ada di BIN dan Psikologi AD," kata Prof Romli dalam keterangannya Rabu (23/6).
Nah, sebelum meminta keterangan dari institusi tersebut, perumus UU KPK ini menyarankan agar Komnas HAM mempelajari kembali tugas dan wewenangnya sesuai UU HAM dan Keppres Tentang Komnas HAM.
Selain itu, Prof Romli juga menyarankan agar Komnas HAM membaca filosofi, historis dan misi diberlakukan UU HAM dan derivasinya UU Pengadilan HAM. Serta perbedaan antara pelanggaran HAM dan pelanggaran pidana.
"Sehingga jelas dan terang bedanya dalam konteks pengaduan 75 eks pegawai KPK yang diberhentikan karena perintah UU ASN, PP 41 Tahun 2020 dan PerKOM KPK No 1 Tahun 2020," sebutnya.
Menurutnya, seketika permohonan gugatan 75 eks pegawai didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), maka Komnas HAM wajib menghentikan kegiatannya untuk menghormati yurisdiksi Peradilan TUN memeriksa subjek dan objek perkara yang sama.
"Jika Komnas HAM bersikukuh maka tindakannya termasuk obstruction of justice," tegas Prof Romli.
Ia menambahkan, Komnas HAM tidak berwenang meminta dam mengetahui informasi kecuali dengan penetapan pengadilan. "Karena informasi hasil TWK termasuk informasi yang dikecualikan dibuka kepada publik berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008," pungkasnya.
Untuk diketahui, obstruction of justice dapat dimaknai sebagai tindak pidana menghalangi proses hukum. Ketentuan mengenai obstruction of justice (tindak pidana menghalangi proses hukum) antara lain diatur dalam ketentuan pasal 221 KUHP dan pasal 21 UU Tipikor. (MA)