Prabowo Enggan RDP Terbuka, Soal Rp 1.700 Triliun

Juru Bicara Menteri Pertahanan (Menhan) Dahnil Anzar Simanjuntak menegaskan bahwa pihaknya menolak Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR hari ini digelar secara terbuka. Apa alasannya?

  • Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Foto: Kemhan

JAKARTA - Hingga tadi malam, pantauan Times ID di laman dpr.go.id, belum ada RDP Komisi I dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam daftar agenda DPR hari ini.

Akan tetapi, Dahnil membenarkan bahwa Menhan Prabowo Subianto diagendakan mengikuti RDP siang ini. "Betul jam 10," kata Dahnil, yang dikonfirmasi tadi malam.

Namun, pihaknya keberatan atas suara-suara yang meminta agar RDP tersebut digelar secara terbuka. Karena, bicara masalah pertahanan, menurut Dahnil ada rahasia negara yang harus tetap dijaga.

"Dipastikan Kemhan dan Pak Menhan tidak bersedia terbuka demi kebaikan semuanya, dan DPR paham betul terkait hal tersebut," terang mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah itu.

Salah satu anggota DPR yang keras meminta agar RDP digelar terbuka adalah Effendi Simbolon. Politisi PDIP itu kepingin RDP itu bisa disaksikan oleh masyarakat luas. Sehingga program Kemhan, salah satunya proyek Rp 1.700 T tersebut tak menimbulkan tanda-tanya publik.

"Kami minta Menhan menjelaskan secara rinci. Kami minta Menhan hadir agar tidak ada bias dan multitafsir terkait rancangan Perpres tersebut," kata Effendi, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (31/5) lalu.

Dalam RDP Komisi I, Senin (31/5) lalu, Effendi menumpahkan kekesalannya atas ketidakhadiran Prabowo. Ia tidak happy, ketika Menhan hanya diwakili Wamenhan Herindra.

"Susah nanti Wamen menjawabnya, karena, 'saya tanya pak menteri dulu, saya tanya pak menteri'. Nah ini kan padahal kita harus mengambil keputusan politik di sini. Nah ini," kritiknya.

Proyek jumbo Rp 1.700 Triliun ini menyeruak ke permukaan setelah pengamat militer Connie Rahakundini buka-bukaan di podcast mantan anggota DPR Akbar Faizal. Ia mengaku banyak mendapat bocoran data dan laporan janggal terkait program-program di Kemhan, usai mengomentari soal tenggelamnya kapal selam Nanggala-402. Salah satunya terkait Alutsista.

"Mba tahu gak, ini kita lagi dalam bahaya lho. Kita itu punya anggaran, yang harus habis di tahun 2024 untuk pengadaan Alutsista. Jumlahnya kalau dirupiahkan, itu Rp1.760 Triliun," kata Connie, menirukan ucapan sumber informasinya itu di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, Kamis (27/5) lalu.

"Wow angka yang sangat besar," respons Akbar, yang jadi host dalam acara podcast-nya itu.

Video yang sudah 530.912 kali ditonton itu langsung memantik kontroversi. Ada suara-suara yang mendukung, tapi banyak juga yang menentang. Bahkan diantara sesama pendukung Jokowi, juga tak satu suara.

Tapi, pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengaku tak terkejut dengan anggaran jumbo itu. Menurutnya, duit Rp1.760 triliun buat belanja alutsista masih tergolong kecil.

"Kalau menghitung 25 tahun, ya," kata Khairul, Senin (31/5) lalu.

Disebut-sebut, program Kuadriliun Prabowo ini tertuang dalam dokumen rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemhan dan TNI tahun 2020-2024. Dalam Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa, rencana kebutuhan alpalhankam Kemhan/TNI seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1, sejumlah 124.995.000.000 dolar AS atau sekitar Rp 1,7 kuadriliun.

Jika rancangan itu disetujui Presiden, Khairul menilai pemerintah bisa mengejar target belanja pertahanan maksimal 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Karena anggaran tersebut akan ditambah dengan anggaran pertahanan rutin sebesar rata-rata 0,78 persen dari PDB per tahun.

Sementara potensi PDB Indonesia selama 25 tahun, besarnya bisa mencapai lebih dari Rp 375.000 triliun. "Angka Rp 1.760 triliun itu sangat kecil, yaitu 0,5 persen saja," tegasnya lagi.

Meskipun kecil, ia menyarankan agar pemerintah cermat dalam mencari pendanaan. Jika dari pinjaman luar negeri, ia meminta agar mencari skema pinjaman suku bunga serendah mungkin. Bisa di bawah 2 persen, dengan tenor panjang. "Bisa 12 tahun, kalau memungkinkan sampai 30 tahun," tutur Khairul.

Senada, pengamat dan peneliti militer dari Binus University Curie Maharani juga bilang demikian. Hanya saja, ia mengingatkan agar penyusunan renbut, dilakukan bottom-up dengan melibatkan angkatan.

"Angka ini normal saja, cenderung konservatif," nilai Curie. (*)