Digitalisasi Sekolah Tidak Sekedar Pengadaan Laptop
Pemerhati pendidikan dari Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji, menilai program pengadaan laptop merah putih senilai Rp 17 triliun oleh Kemendikbudristek tidak akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan Indonesia jika tanpa perencanaan yang matang dan menggunakan data-data serta kajian akademis.
Pemerhati pendidikan dari Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji. Foto: TWITTER |
Sebagaimana dilansir dalam media New Straits Times (9/11/2016), 1Bestarinet adalah sebuah mega proyek pemerintah Malaysia dengan anggaran berkisar Rp14 trilyun rupiah untuk menyediakan konektivitas internet dan menciptakan lingkungan belajar virtual (virtual learning enviroment) pada 10.000 sekolah di seluruh wilayah Malaysia. Pengadaan laptop chromebook dan Learning Management System (LMS) menjadi bagian dari proyek ini.
“Saya kebetulan ikut bantu cuci piring dengan proyek ini di Malaysia. Infrastrukturnya disiapkan, Infostrukturnya disiapkan dengan LMS tapi Infokulturnya tidak disentuh sama sekali. Laptop-laptop tersebut akhirnya banyak tidak digunakan karena guru tidak tahu cara memanfaatkannya dengan optimal. Tim saya waktu itu terjun melatih dan mengimplementasikan lingkungan belajar virtual di sekolah-sekolah dasar jenis kebangsaan Cina, ini juga karena orang tua mau membayar. Saya tidak terbayang apa yang terjadi dengan Indonesia yang hanya disiapkan laptop chromebooknya saja,” tambah Indra.
Proyek 1Bestarinet ini akhirnya dihentikan oleh pemerintah Malaysia pada tahun 2019 karena berdasarkan hasil audit, hasilnya jauh dibawah harapan.
Sementara itu M. Samsuri, Kepala Biro Perencanaan Kemendikbudristek, dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa program pengadaan laptop chromebook sebesar 3,7 trilyun di tahun 2021 ini merupakan program dengan tujuan untuk mengakselerasi kebijakan Merdeka Belajar dalam konteks menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Saat ditanya tentang tanggapan warganet yang menganggap bahwa harga laptop terlalu tinggi dengan spesifikasi yang sangat rendah, Samsuri hanya dapat menjawab, “Itu hanya spesifikasi minimal. Nanti yang menentukan belanjanya adalah pemerintah daerah.”
Begitu pula saat ditanya kajian akademis dari proyek ini, apa dasar memilih teknologi chromebook dibandingkan dengan teknologi lain, sudahkah terbit naskah akademiknya, pejabat Kemendikbudristek ini tidak dapat memberikan konfirmasi yang jelas.
Menurut Indra, Indonesia lebih baik mengikuti jejak Singapura yang membuat perencanaan awal yang matang dengan ICT Masterplan in Education (Rencana Utama Digitalisasi Pendidikan) sejak tahun 1997 dibandingkan Malaysia atau Thailand yang lebih mementingkan proyeknya daripada nilai manfaatnya.
“Malaysia sudah jelas-jelas gagal dengan proyek chromebooknya. Sekarang kita mau menjalankan proyek yang sama di tengah pandemi pula. Jangan sampai Indonesia kejeblos di lobang yang sama. Itu bodoh sekali namanya. Saya sangat berharap Kemendikbudritek sudah membuat kajian yang melibatkan publik, pakar-pakar pendidikan, dan pakar-pakar IT. Lucu sekali jika Kemendikbudristek membuat kebijakan tanpa riset. Tapi sepertinya selama ini seluruh kebijakan diambil tanpa ada kajian, pelibatan publik, dan uji publik yang jelas,” harap pria berkacamata ini.
“Singapura yang besarnya hanya seperti satu kecamatan di Indonesia, hanya 300an sekolah, punya perencanaan digitalisasi pendidikan yang matang dan terukur dengan ICT Masterplan in Educationnya. Kita yang 17 ribu pulau, 260 ribu sekolah, 50 juta siswa, tidak ada perencanaan sama sekali. Singapura sekarang sudah masuk fase ke-4 dalam masterplan tersebut dan didalamnya lengkap bagaimana infrastruktur, infostruktur, dan infokulturnya. Kalau kita hanya fokus ke pengadaan laptopnya, tanpa ada kajian yang kompresensif, ya siap-siap saja uang rakyat terbuang sia-sia,” pungkas Indra.