Kekerasan dan Sabotase Warnai Pilkada Aceh, Paslon Bustami-Fadhil Tuntut Keadilan

Serangan terhadap demokrasi terjadi saat kandidat tak dapat berkampanye aman, menghapus keadilan.
Pemilihan Gubernur Aceh tahun ini diwarnai berbagai insiden kekerasan dan tindakan sabotase yang mengancam proses demokrasi. Pasangan dan tim nomor urut 01, Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi, menghadapi serangkaian tekanan mulai dari perusakan alat peraga kampanye hingga ancaman terhadap keselamatan jiwa para pendukungnya. Hal ini mencapai puncaknya pada debat ketiga Pilgub Aceh, yang menunjukkan arogansi pendukung pasangan Muzakir Manaf-Fadhlullah, dan bahkan terjadi di ruang publik

Juru bicara pasangan Bustami-Fadhil, Hendra Budian. Foto: Instagram/@hendrabudian

BANDA ACEH - Situasi ini menjadi sorotan tajam terhadap integritas Pilkada Aceh yang seharusnya berjalan damai dan demokratis. Hendra Budian, juru bicara pasangan Bustami-Fadhil, mengungkapkan bahwa berbagai tindakan intimidasi telah mereka alami sejak masa kampanye dimulai. Salah satu insiden yang menggegerkan adalah pelemparan granat tangan ke kediaman Bustami Hamzah di Banda Aceh, yang hampir mencederai keluarga calon gubernur tersebut.

"Ini adalah serangan langsung terhadap demokrasi. Ketika kandidat dan pendukungnya tidak bisa berkampanye dengan aman, maka keadilan dalam Pilkada telah hilang," tegas Hendra, Kamis (21/11).

Tidak hanya menimpa kandidat, tekanan juga dirasakan para relawan. Di Aceh Tamiang, seorang relawan Rumah Karya Bersama (RKB) yang mendukung Bustami-Fadhil dilaporkan menerima ancaman pembunuhan. Sementara itu, di Pidie, kaca mobil tim kampanye ditembaki oleh orang tak dikenal, yang menambah daftar panjang intimidasi terhadap kubu nomor urut 01.

“Kami melihat ini sebagai upaya sistematis untuk melemahkan semangat perjuangan kami. Tidak hanya fisik, intimidasi ini juga memengaruhi psikologi tim dan pendukung kami,” ujar Hendra.

Lebih jauh, aksi perusakan alat peraga kampanye (APK) seperti baliho dan spanduk yang didirikan di sejumlah daerah semakin memperburuk situasi. Hendra menilai tindakan-tindakan tersebut sebagai pelanggaran yang harus diusut tuntas oleh pihak berwenang.

Hal pertama yang melibatkan intimidasi fisik terjadi pada Sabtu dinihari (19/10/2024), di mana kebun cabai milik Amiruddin, koordinator tim pemenangan Bustami-Fadhil di Desa Cot Kruet, Kecamatan Makmur, Kabupaten Bireuen, dirusak oleh pihak tak bertanggung jawab. Kerugian yang diderita Amiruddin cukup besar, mengingat kebun tersebut merupakan sumber penghidupannya.

“Kejadian ini bukan sekadar perusakan tanaman, tetapi bentuk ancaman kepada relawan yang berjuang memenangkan pasangan Bustami-Fadhil,” ujar Hendra.

Beberapa waktu berselang, kejadian yang mengincar kubu Bustami-Fadhil kembali terjadi. Kali ini menimpa Safuan, Sekretaris Relawan Rumah Kita Bersama (RKB) Aceh Tamiang, menjadi korban ancaman pembunuhan oleh sekelompok orang yang diduga pendukung pasangan Muzakir Manaf (Mualem)–Fadhlullah.

Insiden terjadi pada Minggu (10/11/2024). Dua mobil berisi pelaku mendatangi rumah Safuan sekitar pukul 19.00 WIB. Karena Safuan tidak berada di rumah, para pelaku mengejarnya ke sebuah warung kopi tempat ia berada.

Di warung kopi tersebut, Safuan dipaksa untuk membuat video yang menyatakan dukungan kepada pasangan Mualem–Fadhlullah. Ketika Safuan menolak karena ia merupakan relawan pasangan Bustami-Fadhil, pelaku mulai berang. Salah satu dari mereka bahkan memegang kerah baju Safuan, dan mengancam akan menembaknya jika menolak membuat video.

"Ancaman ini bukan hanya intimidasi personal terhadap Safuan, tetapi juga ancaman nyata terhadap demokrasi. Ini adalah bentuk kekerasan politik yang tidak bisa dibiarkan," tegas Hendra.

Beberapa hari berselang, Kamis dinihari (14/11/2024), mobil milik Syarbaini (53), yang akrab disapa Apa Ni, tim sukses pasangan Bustami-Fadhil, diduga ditembak orang tak dikenal. Insiden terjadi di Gampong Dayah Gampong Pisang, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.

Dugaan sementara menunjukkan pelaku menggunakan senapan angin, menargetkan kaca mobil yang saat itu terparkir di halaman rumah Apa Ni. Kejadian tersebut menimbulkan ketakutan di kalangan relawan, mengingat ini bukan pertama kalinya aksi intimidasi terjadi.

Di sisi lain, kubu Mualem kerap menyebut bahwa insiden-insiden ini hanyalah strategi pasangan Bustami-Fadhil untuk meningkatkan elektabilitas. Tuduhan playing victim dan upaya menggiring opini masyarakat kerap dilontarkan, meski tanpa dasar bukti yang jelas.

“Ini adalah tudingan yang tidak berdasar. Fakta menunjukkan bahwa serangkaian peristiwa ini nyata terjadi. Demokrasi seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan ajang intimidasi,” ungkap Hendra.

Puncak dari ketegangan Pilkada Aceh terjadi saat debat ketiga Pilgub Aceh dibatalkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Keputusan itu diambil setelah adanya tuduhan bahwa Bustami menggunakan alat komunikasi dua arah selama debat berlangsung. Tuduhan itu, menurut Hendra, tidak berdasar dan hanya dijadikan alasan untuk menggagalkan debat.

"Bustami tidak menggunakan alat komunikasi apa pun. Yang ia kenakan hanyalah clip-on microphone, alat sederhana yang biasa digunakan untuk merekam suara dengan jelas. Tuduhan itu tidak masuk akal, apalagi penggunaan clip-on tidak dilarang dalam tata tertib debat," jelas Hendra.

Ia menambahkan, pembatalan debat tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap tahapan Pilkada yang telah disepakati. Menurutnya, debat adalah forum penting bagi masyarakat Aceh untuk menilai visi dan misi para calon gubernur.

“Pembatalan debat menunjukkan ketidakprofesionalan KIP Aceh. Kami menduga kuat ada upaya terorganisir dari pihak tertentu untuk menggagalkan debat ini. Hal ini jelas mencederai proses demokrasi,” tegasnya.

Pasangan Bustami-Fadhil kini menuntut KIP Aceh untuk menggelar ulang debat ketiga sebagai wujud komitmen terhadap prinsip demokrasi. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Hendra menyatakan pihaknya tidak akan segan-segan membawa masalah ini ke ranah hukum.

“Kami meminta KIP Aceh menunjukkan keberpihakannya pada rakyat, bukan pada kekuatan politik tertentu. Jika tidak ada debat ulang, kami akan menempuh jalur hukum untuk menuntut keadilan,” tandas Hendra.

Selain itu, pasangan ini mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas berbagai kasus kekerasan yang mereka alami selama masa kampanye. "Keadilan harus ditegakkan. Pilkada Aceh harus menjadi contoh demokrasi yang bersih dan adil, bukan sebaliknya," pungkasnya.

Insiden yang menimpa pasangan Bustami-Fadhil menjadi cerminan betapa rentannya proses demokrasi di Aceh. Kekerasan dan intimidasi tidak hanya mencederai para kandidat, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemilu.

“Publik kini menanti sikap tegas dari KIP Aceh dan aparat penegak hukum untuk memastikan Pilkada Aceh berlangsung jujur dan adil. Dalam kondisi seperti ini, keberanian untuk menegakkan kebenaran adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi,” tutup Hendra.