Homepage Widgets (ATF)

Homepage Widgets

Mengapa Orang Baik Sering Kalah di Dunia Nyata?

Ilmuwan politik Robert Axelrod dalam bukunya The Evolution of Cooperation melakukan eksperimen yang terkenal dengan permainan Prisoner’s Dilemma.

Pernahkah Anda melihat seseorang yang jujur, pekerja keras, selalu menolong, tetapi justru tersisih? Sementara orang yang licik, manipulatif, atau tega mengorbankan orang lain justru melesat ke puncak?

Ilustrasi. Foto: Unsplash.com/Benjamin Zahn

PERTANYAAN ini seolah tidak pernah selesai: apakah dunia memang tidak adil bagi orang baik, atau jangan-jangan ada yang keliru dalam cara kita memahami arti kebaikan?

Plato, dalam Republic buku ketujuh, pernah menggambarkan manusia bagaikan tahanan dalam gua yang hanya melihat bayangan di dinding dan mengira itu kenyataan. Sang filsuf yang keluar dari gua dan melihat cahaya kebenaran justru ditolak ketika kembali, bahkan dianggap berbahaya.

Kisah ini menggambarkan betapa sulitnya kebaikan dan kebenaran diterima oleh masyarakat yang lebih nyaman hidup dalam ilusi. Orang baik sering ditolak bukan karena salah, melainkan karena keberadaannya mengusik kenyamanan banyak orang.

Beberapa abad kemudian, Niccolò Machiavelli dalam The Prince menulis sesuatu yang jauh lebih tajam. Dalam bab ketujuh belas ia mempertanyakan apakah lebih baik seorang pemimpin dicintai atau ditakuti.

Jawabannya jelas: jika harus memilih, lebih aman ditakuti. Machiavelli hidup di zaman politik yang brutal, di mana kelembutan bisa berujung pada kematian. Bagi dia, pemimpin yang hanya mengandalkan kebaikan akan mudah diperalat.

Dunia nyata, kata Machiavelli, tidak memberi ruang bagi mereka yang polos. Inilah sebabnya orang baik sering kalah: kebaikan tanpa strategi hanyalah jalan menuju kehancuran.

Friedrich Nietzsche, dalam On the Genealogy of Morality, menawarkan sudut pandang lain. Ia membedakan antara moralitas penguasa dan moralitas budak.

Moralitas penguasa lahir dari kekuatan dan keberanian, sedangkan moralitas budak lahir dari kelemahan dan rasa takut. Menurut Nietzsche, banyak orang baik justru terjebak dalam moralitas budak: mereka takut menolak, takut melawan, selalu berkata ya meski dirugikan.

Akibatnya, mereka diperlakukan semena-mena. Bagi Nietzsche, kebaikan semacam itu bukanlah kekuatan, melainkan bentuk penyerahan diri.

Namun Aristotle dalam Nicomachean Ethics memberikan perspektif yang lebih seimbang. Bagi dia, kebaikan sejati harus dipandu oleh phronesis, kebijaksanaan praktis.

Seseorang tidak bisa hanya menjadi baik hati tanpa tahu bagaimana bertindak. Keberanian, misalnya, bukan sekadar nekat, melainkan kemampuan memilih sikap yang tepat di antara pengecut dan gegabah.

Orang baik yang bijak tahu kapan harus mengalah dan kapan harus melawan. Tanpa kebijaksanaan ini, kebaikan mudah berubah menjadi kelemahan.

Di abad ke-20, ilmuwan politik Robert Axelrod dalam bukunya The Evolution of Cooperation melakukan eksperimen yang terkenal dengan permainan Prisoner’s Dilemma.

Ia menemukan bahwa strategi paling efektif bukanlah kejam, melainkan tit-for-tat—memulai dengan kerja sama, lalu membalas sesuai tindakan lawan.

Strategi ini menunjukkan bahwa kerja sama dan kebaikan bisa bertahan, asal orang baik tidak pasif. Kebaikan yang cerdas, yang mampu memberi respons tegas ketika dikhianati, justru lebih unggul dalam jangka panjang.

Maka jelas, orang baik sering kalah bukan karena kebaikan itu sendiri, melainkan karena kebaikan yang tidak disertai kekuatan. Plato sudah mengingatkan bahwa dunia lebih sering menghargai bayangan daripada kebenaran.

Machiavelli menegaskan bahaya terlalu polos. Nietzsche memperingatkan jebakan moralitas budak. Aristotle mengajarkan pentingnya kebijaksanaan praktis. Axelrod membuktikan bahwa kerja sama hanya bisa bertahan bila ada ketegasan untuk membalas pengkhianatan.

Sejarah pun membuktikan, orang baik tidak selalu kalah. Seperti perjuangan para Nabi dan Rasul dalam Islam, termasuk tokoh dunia lainnya seperti Gandhi dan Nelson Mandela yang tetap berpegang pada nilai kebaikan, tetapi mereka juga berani dan cerdas membaca situasi. Kebaikan mereka bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang strategis.

Mungkin benar dunia sering terasa tidak adil. Namun, pertanyaan yang lebih penting bukan lagi "mengapa orang baik kalah," melainkan "beranikah kita menjadi orang baik yang juga kuat?"