Mubes MAA Abdya 2025 Bahas Sinkronisasi Qanun dan Penguatan Adat Islami
![]() |
Sekretariat Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) menggelar Musyawarah Besar (Mubes) tahun 2025 di Aula Arena Motel, Blang Pidie, Abdya. Foto: Ist |
ABDYA - Hadir dalam kegiatan tersebut Plt Sekda Abdya, Amrizal, S.Sos, mewakili Bupati Safaruddin, serta perwakilan Majelis Adat Aceh Provinsi.
Dalam sambutan Bupati yang disampaikan Amrizal, bahwa di tengah pesatnya perubahan zaman, adat istiadat harus menjadi penuntun arah perubahan, bukan penghalang.
“Adat harus hadir bukan untuk menghadang perubahan, tetapi menjadi penuntun agar kita tetap berpijak pada nilai-nilai luhur,” ujar Amrizal.
Ia juga menyebutkan Mubes ini bukan sekadar agenda rutin, melainkan momentum kebangkitan peran lembaga adat di Abdya. Menurutnya, MAA merupakan pilar penting dalam menjaga marwah, budaya, dan identitas masyarakat.
Amrizal juga menekankan bahwa Musyawarah Besar bukan ajang perebutan posisi, melainkan wadah melahirkan gagasan demi kemaslahatan masyarakat.
“Kita masih menghadapi banyak persoalan adat, seperti nilai yang mulai luntur dan generasi muda yang jauh dari akar budayanya,” tambahnya.
Pemerintah daerah, lanjutnya, akan terus mendukung upaya MAA karena pembangunan sejati tidak hanya soal ekonomi dan infrastruktur, tapi juga pembangunan moral dan budaya.
Sementara itu, Ketua MAA Provinsi Aceh Prof. Dr. Drs. Yusri Yusuf, M.Pd, melalui perwakilannya Drs. Syaiba Ibrahim, menyampaikan bahwa adat Aceh tidak bisa dipisahkan dari syariat Islam.
“Hukom ngen adat hanjeut cree, lagee zat ngen sifeut (hukum dengan adat tidak boleh cerai, seperti zat dan sifat). Ajaran Islam menjiwai adat Aceh,” kata Syaiba Ibrahim.
Ia menyoroti tantangan adat di era digital, termasuk peran MAA dalam menghadapi persoalan sosial seperti human trafficking, rendahnya etos kerja, dan melemahnya fungsi Meunasah di Gampong.
“MAA harus menjadi solusi. Kita perlu menghidupkan kembali Meunasah sebagai pusat kegiatan masyarakat seperti masa lalu,” ujarnya.
Menurutnya, adat Aceh bersifat dinamis dan perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai dasarnya. Ia juga menyarankan agar MAA lebih aktif membuat kegiatan adat minimal dua kali setahun agar keberadaannya semakin terasa di masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, Ketua MAA Abdya, Teuku Cut Amri, dalam laporannya menyampaikan bahwa meski terkendala anggaran, pihaknya tetap berupaya melakukan sosialisasi adat ke seluruh mukim di Abdya.
“Kami berharap Bupati dapat memperhatikan pembinaan adat di Abdya,” ujarnya.
Dalam acara itu, Amri menyerahkan naskah revisi Qanun Nomor 2 Tahun 2018 tentang MAA kepada Plt Sekda Abdya untuk disesuaikan dengan Qanun Provinsi Aceh Nomor 8 Tahun 2019 agar lebih sinkron.
Lebih lanjut, Teuku Cut Amri menjelaskan bahwa Qanun Nomor 2 Tahun 2018 masih belum memiliki petunjuk teknis yang jelas.
“Karena Qanun yang sudah ada Qanun Nomor 2 Tahun 2018 ini belum ada petunjuk dari pada teknis-teknis seperti Mubes ini. Mubes ini kami masih merujuk pada Qanun Provinsi, jadi tidak mendetil, kemudian persyaratan pengurus simpel sekali, tidak disebutkan persyaratan pendidikan minimalnya apa, dari segi umur begitu juga minimal 30 tahun paling bawah,” kata Teuku Cut Amri di sela-sela acara.
Ia menambahkan, revisi qanun perlu dilakukan karena aturan yang berlaku masih mengacu pada Qanun Nomor 3 Tahun 2004, padahal kini sudah diganti dengan Qanun Nomor 8 Tahun 2019.
“Harapan kita ke depan, qanun Kabupaten dan Provinsi dapat sejalan. Misalnya, masa jabatan pengurus di Provinsi lima tahun, sedangkan di Kabupaten empat tahun. Hal seperti ini perlu disesuaikan,” ujarnya.
Selain itu, Amri juga menyoroti perlunya pembaruan qanun tentang penyelenggaraan adat perkawinan karena praktik di lapangan dinilai mulai melenceng dari syariat Islam.
“Qanun tentang penyelenggara adat perkawinan ini memang sudah beberapa kali kami usulkan, tapi belum ada hasil. Karena ini menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, waktu antar linto ke rumah dara baro sering dilakukan setelah Ashar, terkadang waktu shalat Magrib kita masih di rumah dara baro, padahal jadwal yang tepatnya setelah shalat Zuhur. Kami berharap jadwal ini bisa dituangkan dalam Qanun,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa peran pendamping pengantin atau penganjo juga perlu diatur dengan jelas agar adat perkawinan berjalan sesuai nilai Islam dan tertib adat.
Posting Komentar